Rabu, 16 Januari 2013

Hidden Place

Terserah, aku tak perduli
Namaku Riska. Sebelumnya aku belum pernah berpikir untuk melakukan petualangan gila seperti yang sering terjadi di film-film. Tapi aku akan menyanggupi jika aku mendapatkan tantangan seperti itu. Semangat memang sangat diperlukan bukan? Apalagi untuk remaja berusia 16 tahun sepertiku dan mungkin, seperti para pembaca. Meskipun entah apa yang akan aku lakukan jika aku telah menjawab tantangan seperti itu. Hidupku biasa saja. Tapi momen-momen kebersamaan bersama keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabatku membuat hidupku jauh lebih berwarna dari gambar yang aku buat. Karunia Tuhan memang tak tertandingi.
Suatu hari, pagi-pagi sekali aku berangkat ke sekolah untuk melaksanakan tugasku. Piket. Tetapi ada yang berbeda dengan keadaan sekolah daripada biasanya. Aku melirik jam tanganku. Pukul 6.30. kemudian aku melihat keadaan sekolah sekali lagi dengan saksama. Aku tercengang dan hampir ngeces.
“Rajin gilaaa nih anak-anak. Ada gitu yang ngalahin kerajinan gue.” batinku.
Ya, SMA swasta tempatku bersekolah yang beken itu ternyata sudah dipadati oleh siswa-siswi sejak pukul 6.20 tadi. Plaza, koridor, bahkan pilar-pilar sekolah  penuh sesak. Mereka tidak nemplok di pilar kok, tapi mereka memadati bagian pilar dan tembok karena mungkin menurut mereka ada yang sangat menarik yang kudu di lihat. Kalau tidak mereka bisa meninggal, meninggalkan tempat itu maksudku.
Aku berusaha untuk tidak tertarik akan hal itu. Aku ke kelas, menaruh ranselku, mengambil sapu, kemudian menyapu. Aku mendecak kesal melihat sandal ruangan kelas berserakan di bawah meja. Arrrrgh.
“Lama-lama sandal-sandal ini ku buang aja!” ehm, mungkin aku sedikit berlebihan. Mungkin lebih tepatnya aku berkata, “Lama-lama sandal-sandal ini ku jual ajaa^^” nah, itu lebih baik. Lumayan, pelajar-boros-kurang-kaya ini dapat keuntungan dari sandal-sandal “cantik”-terlajur-coklat itu. Tapi, tentu saja hal itu takkan ku lakukan.
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara yang tak asing di telingaku, “Hei! Ngapain lo di sono aja! Lo nggak berminat apa?” sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya, dia langsung melanjutkan berbicara, “Kalo lo minat dan sanggup, disuruh ngumpul di plaza utama kata pak Randi.” Ya, si suara nyaring bak petir kilat badai dijadikan satu itu memang khas di telingaku. Ia lah Si Bibir. Lalu dengan tergesa-gesa Ia pergi dari hadapanku.
Aku kaget. Sapu ku terjatuh. Aku menarik nafas dalam-dalam. Kemudian aku melanjutkan pekerjaanku. Tanpa sadar ada tangan yang menarikku dan menghadapkan aku pada papan pengumuman. Aku terkejut, ya, terkejut sekali karena aku tak melihat apapun selain hasil TO yang sudah kulihat 15 kali. Kemudian aku mendengar kata “lho? Waduh salah!” dari orang itu. Tiba-tiba tangan itu mendorongku dan tanpa perlawanan aku mengikutinya sehingga aku berhadapan dengan sebuah pengumuman yang sedari tadi diributkan para siswa, kurasa. Haha, lucu sekali. Jadi, karena aku tidak tertarik, aku harus membacanya? Tapi memang itulah yang aku lakukan.
Selang beberapa detik hidungku mengembang. Beberapa detik kemudian hidungku mengempis. Beberapa detik kemudian mulut ku menganga sedikit. Aku terus membacanya sampai selesai. Mulut ku menganga penuh dan bom akan meledak. “Aaaaaaaaaa!!!!” astaghfirulloh, alangkah besarnya suaraku. Aku menatap kedua sahabatku. Dua gadis itu melipat tangan dan tatapan mereka begitu menukik. Mereka akan mengintimidasi ku yang bodinya lebih besar ini.
“Apa?” vokal ‘a’ terdengar seperti ‘o’ ditelingaku.
“Hehee… itu, in, ini, emm.. pi, pingin, hehe.” Ujarku sambil menunjuk-nunjuk pengumuman itu. Baiklah, setelah bertindak pongah-sok-gak-mau-tau-apapun-oh-whatever-deh, sekarang aku seperti seseorang yang kena candu Justin Bieber. Aku akui, aku sangat tertarik dengan apa yang diumumkan disini. Ini sama saja seperti surat tantangan.

Kualifikasi yang aneh
Kami akan melakukan journey-atau entahlah bagaimana aku harus menyebutkannya. Bukan seperti study tour atau wisata ilmiah. SMA ku ini memang sangat kreatif dan inovatif. Wisata yang diselenggarakan oleh pihak sekolah bukanlah wisata sambil mengunjungi tempat-tempat wisata budaya, universitas, atau tourism spot lainnya sambil menggali info yang ada. Melainkan wisata di wilayah jawa bagian tengah yang entah apa namanya, sambil bermain game. Ya, hebat bukan? Aku saja kaget, sejak kapan sekolahku ini mau melaksanakan sebuah kegiatan yang isinya permainan. Bagi sebagian murid tentu saja ini adalah hal yang mengasyikkan, terutama aku. Aku tertarik akan seperti apa game yang diselenggarakan ini. Aku sangat tertarik seperti siswa lain yang entah sebesar apa lagi rasa ketertarikannya.
Sampai hari packing pun aku masih belum tahu game seperti apa yang akan diselenggarakan. Namun, kabar yang aku dengar, sebenarnya bukan hanya sekolahku saja yang menyelenggarakan wisata macam ini, tapi 5 SMA terkemuka lainnya juga ikut berpartisipasi. Dan parahnya lagi, ke enam SMA akan digabung kegiatannya menjadi satu event, satu waktu. Tidak hanya itu, setiap peserta nanti akan dibuat menjadi kelompok-kelompok kecil untuk melakukan bermacam-macam game yang tak ubahnya seperti tantangan. Satu kelompok terdiri dari peserta-peserta dari sekolah yang berbeda. Aku pikir, salah satu tujuan dari pengelompokan seperti itu adalah untuk mengetes kemampuan sosialisasi masing-masing siswa.
Aku agak shock. Aku tak bisa bayangkan betapa padatnya tempat yang akan kami kujungi itu. Namun, pada kenyataannya, ada tes kualifikasi tertentu untuk dapat mengikuti wisata ini. Pertama, nilai rata-rata setiap pelajaran harus 7, boleh lebih tak bisa kurang. Kedua, siswa harus memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang sudah digariskan dengan standar. Ketiga, punya uang 20.000 rupiah untuk administrasi pendafataran. Kemudian mendapatkan kartu peserta dan sah menjadi peserta setelah tandatangan diatas materai. Aneh aneh aneh.
Memang aneh. Tapi aku bisa menarik kesimpulan dari ketiga syarat tersebut. Kesimpulan pertama, sekolah membutuhkan peserta yang sanggup mencapai target sari sebuah peristiwa dan memenuhi kualifikasi, dibuktikan dari nilai yang diatas KKM. Kedua, kegiatan yang akan dilakukan adalah kegiatan untuk melatih mental, yang melibatkan kecerdasan pikiran, emosi, dan spiritual. Dari syarat yang kedua aku bisa sedikit menggambarkan bahwa game ini akan seperti game-game pada umumnya. Namun mungkin agak berbeda dan istimewa. Ketiga, sekolah begitu perhatian hingga tahu sifat setiap murid dari ketiga kecerdasan tersebut. Pasti data Hasil Pemeriksaan Psikologis yang diambil setahun lalu masih disimpan dan menjadi arsip sekolah.
Baiklah, karena nilai KKM kelasku sedari kelas 10 adalah 7, otomatis keseluruh 36 siswa akan ikut dalam journey ini dan kami akan satu bus karena sepertinya guru-guru tak mau repot membagi-bagi tempat duduk bus lagi. Haa, perjalanan yang bakal menyenangkan sekali apalagi di penghujung tahun kami bersekolah di SMA tercinta ini.

Yey, berangkat!         
                “Ciul, buka warung kita ciul,” Ucap Lili, cewek berkacamata yang sedang mengemas sekardus makanan ringan untuk bekal selama diperjalanan.
“Asli rud! Eh, kita jauhan sih sama Babon…” ujar ciul sedikit sedih menatap padaku.
Oke. aku jelaskan terlebih dulu siapa Rud, Ciul, dan Babon disini. Wanita muda yang bernama Lili itu di panggil Curud(cukup renyah untuk dimakan), Tia sebagai Ciul(cinta ini untuk selamanya) dan aku selain dipanggil Riska, Arni, biasa juga dipanggil dengan sebutan Babon(bahkan aku begitu memohon padamu). Lumayan lah ngarang-ngarang sedikit dengan kepanjangannya.
“Empat ratus orang apa nggak padet woy?” tanyaku pada salah satu dari mereka.
“Kalo gue rasa sih nggak juga. Soalnya bus-bus nya nanti saling nyusul dan tempatnya nanti tu luas loh Bon,” jawab Lili sambil menunjuk-nunjukkan jarinya tak jelas.
Tiga gadis berpostur tubuh sama tiba-tiba datang dengan tidak sabaran mendekati kami berebut untuk menceritakan sesuatu. Sesuatu yang entah penting atau tidak.
Guuuuys! Tau nggak?! Katanya nggak cuma anak SMA doang yang ikut, tapi ada mahasiswa juga!” lagi-lagi yang bersuara agak melengking ini yang memulai.
“Masa coy? Tau dari mana?” tanya Ciul tak kalah bringas.
“Dari Mbe lah. Sumber terpercaya kita selama ini. Mbe dikasih tau Pak Randi. Yang laen juga udah dikasih tau tauk woy, cuma kelas kita aja yang belom,” gadis yang berwajah agak kotak menjawab dengan nada berapi-api. Sepertinya Ia ingin membuat the new lautan api.
“Asik dong men, ada kecengan,” ucapku genit.
“Sangka elo mbak Babooon! Mahasiswa-mahasiswi itu tu tu fungsinya buat ngawasin kita. Lagian yah, nanti tu nggak akan ada perkenalan asal sekolah, kelas, apalagi yang dari perkuliahan. Kita nanti cuma disuruh tau nama doang… nggak lebih, tapi harus paham pribadi dan bisa kompak dalam satu tim,” jelas gadis yang biasa kupanggil yuk Uci atau Icuz itu.
Baiklah, akan kujelaskan dulu siapa mereka bertiga ini. Mereka adalah Trio Kuntilanak. Oh, bukan. Mereka ini TRIOSSS alias Trio S, Shilvy atau Silpeh, Suci atau Icuz, Sulis atau Rinie bisa juga dipanggil Mimo. Mereka adalah Trio yang menguntilanaki kelas kami. Kalau orang yang bersangkutan mendengar hal ini mungkin aku akan dipenyet hingga tak bisa gendut lagi. Haha. Tapi aku percaya kok, mereka tipe orang yang bisa memaafkan setetes kesalahan teman mereka. Ya kan? Ya kan?
“Eh, udah selesai nih kita packing nya. Ke ruang sirkulasi kelas yuk! Kayaknya yang lain udah pada nungguin,” ajakku.
Kami pun berjalan menuju ruang sirkulasi kelas yang aku maksud. Ruangan ini terletak di sebelah timur sekolah. Bersebelahan dengan ruang Rohis, Pramuka, EC, dan UKS. Kami memakai ruangan ini atas izin Pak Jojo, kepala sekolah kami yang baru dilantik agustus lalu.
Ruang sirkulasi itu memiliki dua ruangan yang lebih kecil lagi di dalamnya. Seperti tempat kos pada umumnya, sama seperti ruang BK yang dimiliki sekolah. Aku masuk ke ruangan kedua. Terlihat Sari, Aldi, Rio, Hilda, Dedew, Tiara, Ryana dan Cita sedang mengoperasikan komputer dan beberapa teman-teman lain mengerumuni layar secara keroyokan dengan muka serius alakadarnya. Hemm, sepertinya sedang seru. aku pun mendekati mereka.
Ternyata mereka sedang melihat video, tapi tidak begitu jelas video apa yang sedang mereka tonton. Selang 2 detik aku melihat, video nya sudah selesai. Aku menyerobot kerumunan itu dan duduk tepat di depan komputer bersama Cita dan membelakangi Aldi. Teman-teman yang lain pun berteriak “apasih” nyaris serentak. Cita mulai mengutak-atik winamp. Kemudian Ia mem-play beberapa lagu remaja masa kini. Tapi entah kenapa musik nya tak kunjung kedengaran ditelinga kami.
“Oh ya Allaaaah Di! Ambil salon Di. Masa nggak ada salon gini komputernya,” Cita langsung menyadari kalau ternyata komputer itu tidak mempunyai speaker.
“Udah sih nggak usah pake salon. Dandan sendiri juga bisa kan,” jawab Aldi dengan gaya selengekannya. Garing.
“Dandan gigimu! Ayo dong Di…”
“Eh, bentar dulu. Nih aku ada speaker gitar,” Sari mengeluarkan sebuah gitar cantik berwarna coklat yang mengkilap.
“Wow,” kontan saja kami semua terpesona melihat speaker itu.
Tunggu dulu, ada yang berbeda dengan gitar itu. Gitar itu tidak memiliki senar tipis yang bisa berdenting seperti gitar pada umumnya. Alat musik petik ini tidak menggunakan senar, melainkan benang! Ya, antara benang wol hijau dan nilon putih yang saling berselingan. Benang-benang itu terus memanjang hingga kebelakang gitar. Dikepala gitar terdapat miniatur dua naga yang saling bercengkrama, ukiran yang sangat menawan.
“Baru lihat ada gitar kayak gini. Gimana mainnya Sari?” tanya Cita penasaran.
Sari menyambung kabel putih yang ada disisi gitar ke komputer. “Gampang aja, kayak speaker komputer  biasanya kok.” Jawab Sari santai.
Pelan-pelan terdengar alunan musik dari dalam gitar itu. Gitar itu benar-benar sebuah speaker besar yang unik, yang belum pernah kulihat, bahkan teman-temanku yang lain pun begitu. lambat laun benang wolnya memutar kearah atas dan benang nilon memutar kearah bawah. Mereka tampak seirama dengan musik. Wow! Kami tercengang menatap dua naga yang semula diam tak bergeming kini menari berputar naik turun di kepala gitar itu.
“Oke deh teman-temanku, bus sudah menunggu. Saatnya kita cao dan happy-happy!” Aldi sebagai ketua kelas memerintahkan kami semua untuk meninggalkan tempat itu segera dan masuk kedalam bus.
Aku mulai riweh sendiri karena belum sempat ke kamar mandi. Wah Lili pasti sudah, pikirku. Suara bus nyaring terdengar ditelingaku. Tapi speaker berbentuk gitar ini lebih menarik perhatianku. Bukannya cepat-cepat keluar dari ruangan itu, aku malah mendekati gitar itu lagi dan melihatnya lekat-lekat. Aku heran bagaimana sentuhan benang wol dan nilon ini bisa menghasilkan suara. Aku jelas mendengar gesekan benang-benang itu tadi diantara musik yang bermain. Rasanya jariku bergerak sendiri mendekati benang-benang itu. Tiba-tiba, “Ah!” jariku terlilit benang-benang itu!
“Wooy. Haaah. Gimana ini. Jangan tinggalin gue doong! Tolongin nih makin kusut!” aku berteriak tak karuan berharap Sari atau Cita yang terakhir keluar dari ruangan ini menolongku dan tidak memarahiku.
“Aduh aduuuh Arniiii. Ngapain sih lo,” waduh kacau. Malah pak ketua kelas ini yang datang. Bisa-bisa dimarahin ini. Tapi, lihat apa yang akan dilakukannya.
“Ampun mister Aldi! Lihat deh, kusut benangnya. Tolongin ini,” ucapku panik.
“Haah, ada-ada aja. Sini-sini gue benerin,” Aldi mendekati gitar itu seperti dokter yang akan memberikan pengobatan pada pasiennya. Aku menjauh. “Beres”.
Wah, memang mantap bapak ketua kelas ini kalau masalah komputer. Rasanya aku ingin menyewanya juga untuk memperbaiki sanyo yang ada dirumah. Siapa tahu dia bisa dan berbakat akan hal-hal seperti itu. Hahaha.
Akhirnya aku bisa juga bernafas lega. Tapi tak sampai disitu. Saat masuk kedalam bus aku di sambut riuh bak artis. Yup, artis yang dibayar mahal tapi cuma bisa nyanyi dengan mic terbalik.
“Maaf, maaf,” aku malu sekali. kenapa juga aku selalu telat kalau ada acara berpergian seperti ini.
“Arni sini!” Sulis memanggilku. Aku pun duduk di sebelahnya. Bus berjalan. Setelah sepuluh menit perjalanan, aku baru benar-benar ingat kalau aku tadi memang tak sempat ke kamar kecil untuk ‘bersiul’. Ya, semacam kode yang bus kami gunakan jika ingin ke kamar kecil.
Lima menit berikutnya, “BERSIUUULLL!! BERSIULLLL! Bener-bener pengen bersiul niiih!” aku benar-benar tak tahan lagi. Aku disoraki lagi oleh teman-teman satu bus termasuk wali kelas dan juga guide kami. Ambil positifnya saja. Hari keberangkatan ini merupakan hari artisku. Yap, sudah. Itu saja kata-kata penghibur dariku untukku.

Dimana ini? Tempat yang asing…
Aku melihat ke sekeliling dan memastikan dimana posisiku sekarang. Aku memperhatikan Ciul dan Lili yang memegang peta dan GPS. Tampaknya mereka benar-benar tidak mengenali tempat ini. Kalau aku… tentu saja aku mengenali tempat ini. Kami kan pernah kesini. Tapi, tunggu dulu! Aku memperhatikan lagi semua yang ada disana. Aneh, aku juga tak mengenali tempat ini. Misterius. Aku menggelengkan kepalaku karena tak percaya pada sesuatu yang telah kulihat.
Matahari terik sekali menyengat kami yang diperintahkan untuk tetap berdiri dan menunggu instruksi selanjutnya setelah pemarkiran bus-bus limabelas menit lalu. Empat ratus orang siswa yang ikut, ditambah lagi seratus kakak-kakak pendamping dari sebuah universitas terkemuka yang entah universitas mana. Aku tak tahu harus beranggapan apa pada mereka karena aku masih sangat tidak mengerti akan bagaimana permainan yang diadakan. Sungguh tidak mengerti. Jalani saja, pikirku.
mirip, tapi bukan.
Aku tak pernah habis pikir akan ke tempat seperti ini. Aku yakin pernah lihat tempat ini. Yah, mungkin di mimpi atau mungkin ada bangunan lain yang mirip dengan bangunan di depanku yang pernah kukunjungi. Entahlah. Yang pasti, tak jauh dari lapangan tempat kami dikumpulkan terlihat sebuah gedung berbentuk… emm, pyramid? Oh, bukan. Tentu saja bukan pyramid. Tidak ada pyramid raksasa di Indonesia yang sebesar ini. Tapi, lebih tepatnya gedung ini berbentuk tumpeng, nasi tumpeng. Sekali lagi aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku ingat. Ini Monjali! Monumen Jogja Kembali. Sama persis. Jadi… sekarang posisiku ada di jogja tho.
                “Semuanya harap tenang. Gedung seperti nasi tumpeng yang ada di depan kalian adalah hotel yang akan kalian tinggali selama 3 hari kedepan. Sekarang panitia akan membuat kelompok. Silakan tas kalian dikumpul di depan karena pembagian kelompok ini memerlukan proses.” Pak Randi menjelaskan.
Apaaa?!! Hotel??! Jadi, ternyata gedung itu bukan Monjali, tapi hotel. Aku tidak melihat ada tugu selamat datang di hotel bla-bla-bla sewaktu memasuki area ini tadi. Aneh. Dimana ini? Daerah ini memang tidak kukenali. Banyak yang berbeda dari perkiraanku, sedikit yang sama, yaitu bangunan tumpeng itu dan semak-semaknya.
“Hoi! Ngelamun aja! Tas lo taro’ situ ni!” suara Sulis mengagetkanku.
“I-iya Rin.”
Aku sedikit berdebar siapakah yang akan menjadi anggota kelompokku nanti. Tentu saja aku harus menahan keingintahuanku tentang asal mereka dari SMA mana dan mana diantara mereka yang mahasiswa. Menanyakan hal itu akan membuatku mendapat 6 poin pelanggaran sekaligus. Jika peserta mendapat 10 poin pelanggaran, maka peserta akan di diskualifikasi. Sedangkan peserta yang tidak mendapatkan poin pelanggaran sama sekali, peluang menang mereka semakin besar. Tampaknya kegiatan ini mulai rumit dan aku tak ingin berpikir terlalu berat akan hal itu.

Tim ku, teman atau ….
Kelompok sudah terbentuk. Jumlahnya antara 3 sampai 4 orang dengan nama kelompok yang sudah ditentukan panitia. Baiklah, akan kuperkenalkan nama-nama anggota kelompokku, kelopok Naga Sakti. Nama yang agak konyol tapi aku suka nama itu. Pertama, Leon. Kedua, Lia. Lalu, aku sendiri, Riska atau Arni. Kami sudah berkenalan dengan menyebutkan nama saja. Entah mengapa, otak dan hatiku terus saja berprasangka dan menebak-nebak, siapakan diantara mereka berdua ini yang seorang mahasiswa dan bertindak sebagai pengawas. Ah, kalau begini, akan ada rasa saling curiga antaranggota tim. Aku mulai berfikir, kami akan menjadi satu tim yang solid dan memiliki satu tujuan atau mungkin malah akan menjadi rival yang saling mencurigai.
“Riska, Lia, ketua kelompoknya mau gambreng atau gimana nih?” Leon mulai angkat bicara.
Leonard Putra Legowo memiliki potongan rambut cepak yang rapi, namun sedikit berantakan dipenampilan luarnya dan selalu memakai jaket diluar kaosnya. Dan yang membuat aku kaget dan agak gerogi saat tahu aku se tim dengannya, dia tampan. Ya, setidaknya itu menurutku. Lalu, Ia memiliki tinggi yang sedang untuk ukuran laki-laki. Sejak pertama kali bertemu aku menebak Ia lah sang pengawas karena Ia terlihat lebih dewasa. Sedangkan temanku yang satu lagi, Aliandra Julianita atau Lia memiliki penampilan yang hampir ‘sama’ dengan Leon. Ia memakai t-shirt dengan kemeja terbuka diluarnya, rambutnya sebahu dan digerai begitu saja. Ia memang terlihat tomboy dari cara berpakaian dan gaya bicaranya. Lia juga memiliki tubuh yang kecil, jadi kupikir dia bukan sang pengawas karena Ia terlihat unyu seperti anak SMA. Haha. Perkiraanku saja.
“Riskaaaaa… helloooow. Gimana kalau Leon aja ketuanya?” Lia menepuk-nepuk kedua tangannya dihadapanku. Aku kaget. Leon tampak menertawaiku. Belum-belum aku sudah melamun dan membuat mereka menunggu jawabanku karena lamunanku sendiri.
“Ha, Iya. Iya Iya. Setuju banget. Dia kan laki-laki sendiri. Hehe-” Jawabku sekenanya.
“Kamu suka melamun ya Riska?” tanya Lia dengan gaya premannya.
“Hemm… enggak.” Mendengar jawabanku Lia tampak memelototiku. “Hehe.. Iyaaa. Maaf ya. Emang suka nggak fokus nih.”
“Wah, bahaya Riska. Habis pembagian kamar, kita latihan ke-fokus-an ya nanti.” Leon mulai bertindak sebagai ketua.
“Oke.” Sekarang aku mulai merasa nyaman berada diantara mereka.

Surat Tantangan
Pagi yang segar ini jangan disia-siakan. Aku membangunkan Lia yang masih tekapar di springbed merah kamar kami. Tadi malam kami bertiga mengobrol sampai tengah malam sampai-sampai Leon tak sanggup lagi pulang ke kamarnya yang berada dua kamar di kanan kamar ini. Pagi ini aku sudah mandi dan siap jalan-jalan pagi untuk menikmati udara. Sekarang pukul 5.35 dan pukul 8.00 nanti kami harus berkumpul di plaza untuk memulai game-game kecil yang sepertinya akan sangat menyenangkan. Yah, ternyata ketahuan juga kalau kami akan melakukan kegiatan game show untuk acara di sebuah stasiun TV swasta.
Leon dan Lia belum juga bangun. Kemudian kugoyang-goyangkan lagi tubuh Lia dan Leon. Lia selesai mandi­ dan kami berdua pun menjemput Leon yang ada di kamarnya. Sepertinya Leon masih tidur. Tetapi lagi-lagi dugaanku dibanting seremuk-remuknya. Leon ternyata sudah sarapan duluan.
“Arrrrggh! Anak ini curang banget, nggak nunggu kawan lagi. Riska, kita gebukin aja dia nanti!” Tampaknya Lia sangat bersemangat untuk hal ini.
“He-he, terserah deh. Eh, kita mau jalan-jalan dulu atau sarapan?” tanyaku tanpa menganggap serius ucapan Lia sebelumnya.
Breakfast is the most important! Ayo!” dan Lia lebih bersemangat untuk hal ini.
Masih ada waktu sekitar satu jam untuk berkumpul dan melaksanakan instruksi selanjutnya dari atasan(baca:panitia). Belum-belum aku sudah kangen dengan teman-teman sekelasku, dan tempat ini terlalu ramai untuk mencari 35 orang yang terpencar diantara 399 orang. Tapi, siapa tahu dijalan nanti aku bertemu mereka.
Aku dan Lia mengintari tangga spiral hotel berbentuk tumpeng itu. Tangga selebar 5 meter itu padat dipenuhi para peserta, namun aku tak menemukan dimana mereka. Lalu aku memperhatikan kesekeliling taman. Terlihat ada banyak tanaman penghias taman berbentuk piramid ada juga yang dibentuk seperti ular. Sangat berseni namun juga aku merasakan hawa aneh yang sulit dijelaskan. Kawasan hotel juga ini sebenarnya cukup asri asal saja daun-daun kering itu dibersihkan. Aku melihat ke arah semak-semak dan mendekatinya.
“Hei ngapain kamu?” Lia tampak bingung.
“Sebentar doang. Mau observasi lokasi dulu.” Jawabku sekenanya.
jalan menuju hotel
Aku dan Lia mendekati semak itu perlahan. Lalu, tiba-tiba semak itu bergoyang. Aku berpikir positif saja, itu angin.
“Lia, apa itu?”
“Mau kucari tahu?” Lia mengambil ancang-ancang untuk menerobos semak-semak setinggi 200 cm itu.
“Nggak usah ah. Takut…”
“Eh nyantai aja kali. Ya ya?” sebelum aku menyetujuinya Lia sudah langsung menerobos semak-semak itu. Tapi, yang terjadi malah separuh tubuhnya terperangkap kedalam semak kemudian sesosok kelinci putih bertelinga biru keluar dari semak itu.
“Eh, ada kelinciiiii.. kok bisa ya?”
“Entar dulu Riskaaa terpesonanya, bantuin keluar dari sini dong.”
“Hahaha. Oh iya.” Lantas aku membantunya keluar dari semak itu. Kami memperhatikan kelinci itu dan berkata ‘hello’ secara serentak. kelinci ini berbeda sekali dengan kelinci biasa. Kelinci ini tak lantas kabur ketika didekati manusia asing. Ia malah menengok kepada kami berdua bergantian. Dan, waw kelinci ini mengenakan vest.
“Kok kayak Alice in Wonderland ya tiba-tiba ada kelinci muncul.” Bisik ku pada Lia.
“Tapi kayaknya dia nggak bisa ngomong deh Ka.” Ucap Lia menduga-dua.
“Gimana nih? Mau dipelihara atau dilepas aja?”  
“Dilihat dari tampilannya, kelinci ini punya majikan. Masa iya kelincinya pake baju sendiri.”
“Bener bener bener. Tapi kelincinya imut banget. Sayang kalo dilepas…”
“Iya sih… iihhh cute banget sih kamuuuu. Kayak boneka.” Lia mengelus.. eh, bukan mengelus, tapi, menyentuh bagian telinga biru kelinci itu. Tapi, yang terjadi adalah... kelinci itu kemudian bersuara. Seperti anjing! “Grrrrrr”. Seakan-akan dia mengatakan, “JANGAN GANGGU AKU! JAUHI AKU ATAU AKAN KUPUTUSKAN JARIMU!”
“Lia….” Aku mencengkram bahu Lia gemetar.
“Iya Riska… hitung dari tiga ya..” Lia pun mempunyai ide yang sama denganku.
“Kenapa nggak dari satu aja.” Protesku sambil cengar-cengir pada kelinci itu.
Kelinci menajamkan matanya, memperlihatkan giginya yang ternyata mempunyai taring, matanya berubah menjadi merah. Tapi jelas sekali ada yang aneh dengan mulut kelinci itu. Itu bukan mulut kelinci atau anjing, tapi mulut boneka! Seperti jahitan bahan-bahan pembuat boneka pada umumnya.
“Hei, kelinci ini bukan kelinci…” aku menahan Lia yang hendak menghitung.
“Iya… tapi dia monsteeeeeeeeer!!! Lariiiiii!!! Nggak ada waktu buat ngitung lagi!”
Aku pun hanya dapat mengikuti kemana Lia melangkah tetapi mataku tak lepas dari kelinci itu. Aku melihat, kelinci itu tidak kembali ke semak-semak tapi malah masuk ke dalam gedung hotel, tepatnya itu daerah dapur. Oh, memang tak ada alasan untuk tetap bersama kelinci manis yang bisa berubah mengerikan itu. Tapi sesungguhnya rasa ingin tahu kenapa kelinci itu malah pergi ke dapur, begitu kuat.
Aku kelelahan untuk berlari dan terus berlari mengikuti Lia yang sangat ‘biasa aja’ dalam hal berlari karena badannya yang ringan itu sepertinya mudah dibawa berlari. Dan aku baru sadar…
“Tunggu dulu, kok kita masih lari sih?” tanyaku.
“Ha? Iya ya.” Lia juga baru sadar karena apa kami berlari kalau bukan untuk menjauhi kelinci imut yang menyeramkan tadi. “Yaaaaaa…. Olah raga dong! Satu dua satu dua…”
“Ngeless deh.. mentang-mentang jago lari.” Kataku sewot.
“Haha, udah yuk kita balik aja, udah keringetan gini.”
“Eh, tapi kelinci itu... tadi… dia... Aneh.”
“Apanya yang nggak aneh disini coba? Semak, taman, dapur, semuanya aneh. Lokasi ini kayak bukan Indonesia, tapi jelas lingkungan diluar lokasi ini adalah lingkungan jawa. Semua ini agak nggak logis.”
“Bukan Indonesia? Jawa? Jadi sebenarnya kita ada dimana sih?”
Belum sempat Lia membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaanku, bel berbunyi. Kami semua harus berkumpul di plaza.
“Jadi sebenarnya kita…” aku mengulangi pertanyaanku.
“Nggak tahu.” Hanya itu yang dikatakan Lia. Dia juga tidak tahu kami ada dimana sekarang. Aneh dan belum jelas. Wah, kelihatannya teka-teki semakin rumit saja.
“Hei hei kalian berdua!” suara yang mulai tak asing bagiku. Itu suara Leon.
Kami menoleh dan tanpa panjang lebar kami berdua mendekatinya, lalu mencekiknya, lalu menyeretnya kesemak yang tak tahu ujungnya kemana itu, lalu kami bakar dia. HAHAHA.
Ups! TENTU SAJA hal-hal diatas tadi TIDAK kami lakukan.
Oke, biar kuulangi sekali lagi. Kami menoleh dan tanpa panjang lebar kami berdua mendekatinya, kemudian Lia menepuk bahu kiri Leon dan menahannya.
“Kita satu tim lho. Lo kemana aja?” bahasa lo-gue Lia tak sengaja keluar. Perjanjian kami bertiga : sebisa mungkin tidak menggunakan kata ganti lo-gue karena menurut Leon kata ganti itu kurang lembut dikatakan. Saya-kamu jauh lebih baik, menurutnya. “You kemana aja?” Ulang Lia.
Leon balik menepuk bau kiri Lia dan tidak melepaskannya. “Kita dapat surat tantangan.”
                “Hei tunggu dulu!” aku menyandarkan kedua lenganku ke bahu mereka. “Surat tantangan gimana?” Baaaiklaaah…. sekarang kami tampak seperti tiga macan. Cocok sekali. Saaaangat akrab.
“Disini sempit ya.. kesana yuk! Kayaknya masih banyak ruang hampanya.” Lia mengusulkan, lalu kami bertiga hanya senyam-senyum, mesem-mesem tak jelas.
“Cek seragam kita yang disediakan tadi pagi, ada hidden massage disana.” Jelas Leon.
“Kami belum tau soal seragam itu.” Lia menaikkan kedua tangannya sebahu.
“Oh iyaaa… soalnya bajunya itu di lemari, bukan di koper kalian!”
Priiiiiittt! Priiiiiiiiiitttt! Peluit yang didekatkan ke mikrofon itu cukup membuat sebal. Tapi kami tetap harus menuruti kemana sang peniup mengarahkan. Kami pun diam dan cepat menyusun barisan. Seorang guru bernama bu Hisa—yang entah dari SMA mana—menjelaskan perihal seragam yang telah disiapkan di lemari kamar masing-masing. Kami harus menge-check nya setelah game-game kecil ini berakhir.
Menyenangkan untuk have fun with the games sampai dzuhur tiba tapi bukan itu yg ingin aku ceritakan. Anggap saja game-game reality show ini telah usai. Selanjutnya, aku, Lia dan Leon lekas kembali ke kamar dan mengambil seragam itu. Tiga kemeja biru tua lengan panjang untuk kelompok naga sakti dengan lambang naga di dada kiri.
“Leon, mana surat tantangannya? Bajunya kotak-kotak gini kok katanya ada hidden message nya!” aku mulai gusar karena tidak menemukan apapun di kemeja itu.
“Nah itu dia! K-O-T-A-K! pasti suratnya ada di kotak.”
Aku dan Lia hanya bisa melongo mendengar apa yang baru kami dengar dari mulut Leon. Dia mengatakan hal itu dengan sangat percaya diri. Seolah-olah Ia tau pasti jalan permainan game ini.
“Maksudmu, kotak apa?” tanya Lia.
“Ta-da!” Leon mengeluarkan sebuah kotak berukuran kecil, kemudian Ia membukanya perlahan.

Kepada: Naga Sakti
Di sini mulai dingin sekali. Tak ada kah kalian sudi menemuiku untuk membawakan kehangatan mentari. Sedikit saja. Sekalian untuk mengusir gelap dan juga menakuti cicit-cicit mengerikan itu. Aku sungguh tak mengerti. Bantu aku untuk memahami ini. Tolong antarkan kehangatan mentari sebelum kalian pergi dari tempat itu.
Salam beku dari  Noboe Lse

“Ms. Noboe Lse? Siapa dia? Bule?” tebak Lia asal.
“Entah. Aku mendapatkan kotak ini saat kembali ke kamar tadi pagi. Selesai mandi, aku membuka lemari karena baju-baju ku sudah ku masukkan ke dalam lemari kemarin…” Jelas Leon. “Haha… dan di dalam lemari itu tergantung seragam biru kita. Lalu aku melihat secarik kertas di kantongnya. Emmm…. Ini dia!” Leon pun memperlihatkan kertas dengan jenis sama dengan gulungan tadi namun kali ini dengan tulisan berbeda. Lebih tepatnya, ketikan yang bertuliskan : “MOTIF”
“Menarik…” Lia berpose detektif saat mengatakan hal ini.
“Hemmm… tapi tidak ada di kantongku.” Aku langsung menyadari sesuatu dan mengecek kantong saku ku.
Tanpa menghiraukan aku Leon melanjutkan ceritanya, “Aku langsung paham motif apa yang dimaksud. Kupikir, ini sangat mudah. Aku perhatikan sekitar ku. And I found it! Kotak itu ada di pojok atas lemari.”
“Lucu ya… langsung ada di pojok atas lemari.” Ucap Lia pelan sambil melirik ke arahku, lalu ke Leo. Leo mengangkat kedua bahunya menandakan Ia tak tahu menahu tentang kenapa hal itu bisa terjadi.
Priiiiiiiiiiiit!! Priiiiiiiiiiiiiiit! Lagi-lagi peluit berbunyi. Kami harus kumpul kembali di plaza. Singkatnya saja, kami mendapat instruksi intuk mengambil tindakan hari ini juga untuk surat tantangan itu. Aku bingung. Tindakan seperti apa? Oke, nanti saja kami bertiga bicarakan bersama. Aku jadi tak sabar.
Sampai hari beranjak sore. Aku, Leon, dan Lia hanya menghabiskan waktu di kamar untuk browsing atau mencari petunjuk dari buku.
                “Iya, bener tuh kata Leon. Dan, kenapa surat tantangan itu bukan seperti tantangan, malah seperti orang minta tolong.” Komentar Lia. “Dan apa itu? Antarkan kehangatan mentari?”
“Surat ini adalah jantung kita. Kunci akhir permainan ini.” sekilas aku melihat tatapan tajam Leon mengatakan hal itu.
Lama-lama aku bosan berada dikamar saja, lalu aku pergi keluar kamar dan berniat jalan-jalan sebentar.
Hemh, asik sih sekelompok sama mereka. Tapi… mereka terlalu serius dan memancing. Dan, ada yang aneh dengan Leon. Dia suka bergerak sendiri dan tiba-tiba mengetahui sesuatunya sendiri. Memang sih, aku tebak dia pengawas, tapi kenapa juga aku harus curiga dan khawatir dengan pengawas. Kali ini, perasaanku berbeda bukan karena tebakanku kalau dia pengawas, tapi sesuatu yang lain. Firasatku mengatakan lain.
Tiba-tiba dari arah pojok balkon aku melihat sesuatu bergerak. Jangan-jangan kelinci yang tadi. Aku pun mulai bergidik ngeri. Dan sayangnya aku sudah belajar dari pengalaman saat menonton film horor yang kalau Ia melihat sesuatu yang bergerak akan langsung didekati perlahan. Yang kulakukan bukan seperti itu, tapi malah menjaga jarak dengan sesuatu itu sambil bersembunyi dibalik tembok menunggu reaksi benda itu. Perlahan… perlahan… dorrr! Muncul lah seekor ayam berbulu kuning. Bentuk nya sih seperti jenis ayam potong. Tapi Ia jadi terlihat imut karena bulu dan warnanya yang lembut. Otak ku pro kontra, ku dekati tidak yaaa???.. dan, tidak!! Awasi saja dari jauh apakah ayam ini sejenis binatang boneka seperti kelinci tadi pagi.
“Psssttt, psstttt, ayam! Ayam!” aku pun iseng memanggil ayam itu.
Dan apa yang terjadiiii??? Ayam itu berbalik kearahku. Wah, Gaswatttt ini. petokpetok.
“Namaku bukan ayam, tapi Chicky.” Timpal ayam itu dengan suara cemprengnya.
HAAAAAHH! Aku kaget. Aku melongo. Ayam… ayam itu barusan dia berkata apa? Dia.. ber..bi..cara? jantungku rasanya hampir copot. Kiamat sudah dekat sekali sampai-sampai binatang pun bisa berbicara. Tanpa pikir panjang aku lari, lalu kutengok ayam itu, whoaaaaa dia mengejarku! Aku pun mempercepat langkahku lalu menengok lagi, ayam itu menghilang. Aku lega… Chicky? Aku sempat berpikir kalau ayam itu baik. Tapi, entahlah..

Hugs Me, My Soulmates!!!!
Akhirnya aku bisa bertemu dengan kedua soulmate-ku ini. Lili dan Ciul. Senang dan kangen sekali rasanya padahal kami berpisah baru sehari.
“Ya Allah Babooooon, curuuud! Kangen banget sama lorang!” Lili memberikan hug nya kepada aku dan Ciul.
“Eh, tau nggak Bon, Rut, gua bingung loh di sini ini. Game-game apa lah, kok kayak di dunia khayal.” Ciul membuka ceritanya. Ia menceritakan semuanya. Tentang bagaimana Ia mendapatkan surat tantangan, bagaimana Ia berteman dengan tim nya, pola pikir teman-teman tim nya, bagaimana posisinya, dan semua yang Ia rasakan dan pikirkan mengenai perjalanan ini.
Begitu pula Lili. Dengan sangat antusias Ia menceritakan semuanya sampai pada pengamatannya seperti teman tim nya yang gemuk memiliki tulisan yang kecil dan teman tim nya yang kurus mempunyai tulisan yang lebih besar. Hal itu sesuai dengan hipotesisnya -> orang gemuk : tulisan kecil, orang kurus : tulisan besar. Dan sebagainya sebagainya sebagainya.
Rasanya waktu berlalu begitu cepat ketika kita bersama orang-orang yang kita inginkan. Aku, Lili, dan Ciul berjalan-jalan sore di sekitar hotel-yang mirip sekali dengan Monjali- Itu. Kami juga menikmati indahnya sunset sambil duduk diatas pasir hitam bersih dekat kolam renang.
“Eh, gua pingin pipissss,” Lili mulai beser lagi.
“Yodah tinggal pipis.” Timpalku pura-pura tak perduli.
“Boooon….” Lili merengek ke arahku. Aku jadi sangat malas sekali tapi aku lebih tidak tahan dengan rengekannya.
“Arrrrggghhh…. Yok!” Aku berdiri dan berjalan dengan langkah berat. Tetapi, setelah Lili masuk ke kamar mandi-letaknya tidak jauh dari Ciul duduk- aku langsung meninggalkannya dan duduk kembali disamping Ciul sambil mengamati tenggelamnya sang mentari. Hahaha Lilik..Lilik… kamar mandi dekat ajaaaaa…
“Cantik banget yaaa bisa liat sunset begini. Tempat ini ni kadang aneh, kadang bikin kangen, kadang bikin seru, kadang bikin serem.” Ungkap Ciul sambil tetap menatap benjolan orange terang itu. Jujur saja aku sangat setuju dengan pernyataan Ciul.

Membingungkan!
Esoknya setelah melaksanakan game-game kecil, Leon mengajak aku dan Lia untuk memeriksa kembali semak-semak yang kami kunjungi kemarin.               
“Nggak ah, saya trauma terperosok di sana. Dan lagi, gimana kalau ketemu Monster Boneka? Hieey.” Jawab Lia.
“Kalau saya nggak pa-pa. Asal kita sama-sama.” Jawabku.
“Oke. dua banding satu. Berarti kita kesana sekarang.” Ucap Leon memberi perintah. Lia hanya menganggukkan kepalanya, pasrah.
Telepon kamar berdering. Leon mengangkatnya namun ternyata telepon itu untuk Lia dari seseorang yang mengaku sebagai The Great Teacher. Kami tidak dapat mendengar percakapan mereka namun apa yang Lia ucapkan terdengar jelas.
“Saya bareng teman tim, Op.. em, Pak. Iya. Oke oke. ha?! Kami ketemu kemarin pak. Setuju pak, memang harus disingkirkan sekarang juga. Iya, ini membuat kami makin semangat. Terimakasih pak. Yooo”
Jujur saja, aku sangat penasaran tentang apa percakapan Lia dan The Great Teacher nya itu. Lama-lama aku mulai dibuat bingung tentang apa ini semua. Kami pun akhirnya pergi ke semak-semak yang kami temui kemarin. Tidak ada yang berubah. Kami mencoba mencaritahu apa yang ada dibalik semak-semak ini. Namun yang kami temukan hanyalah hutan yang punya kepemilikan dan tak terurus.
Aku jadi teringat kembali isi surat tantangan itu. ‘Disini dingin sekali’. ‘bantu aku untuk memahami ini’. ‘Noboe Lse’. Aku berpikir dan terus berpikir. Noboe Lse… siapa dia? Apa kebangsaannya? Bagaimana membaca namanya? Apa mungkin memang bule seperti kata Lia? Inggris kah? Noboelse… Noboelse…
AH! I got it! Noboelse harusnya adalah Nobody Else! Yang membuat surat tantangan ini adalah seseorang yg berada di dalam badan tim. Leon? Lia? Aaaaargh.. tapi apa maksudnya? Meminta tolong untuk memahami apa? Apa mungkin… memahami tentang apa kegiatan ini semua? sepertinya…
“Arniiiiiii!!!” terdengar suara sumringah menyapaku dari kejauhan lalu mendekat. Aaaaaaaa Uni Fini! Aku kangen sekaliiii…
“Uniiiiiii! Ngapain Lo bawa senter?” aku menyambut kedatangan Uni Fini dengan suka cita.
“Lo nggak tau dari tadi listrik disini mati-idup mulu. Mana suram lagi disini.” Lantas Fini langsung membisikkanku sesuatu. Aku mengerti ini dimaksudkan agar kedua orang didekatku tidak bisa medengar ucapan Fini.
Fini mengatakan, “Salah satu temen yang bareng lo mungkin bukan temen. Hati-hati nik, jangan terkecoh. Gue tau sesuatu, nanti jam 8 gw email lo. Makanya cas laptop dari sekarang.”
Aku kaget, tak percaya. It’s so ridiculous and strange. Aku bingung dimana aku harus berposisi. Namun aku harus menyamarkan sikap bingung ku.
Fini melihat ke Leon dan Lia, lalu berbisik lagi namun kali ini aku yakin kedua orang didekatku bisa mendengarnya. “Eh niiiik~ itu rekan lo yaaaaa? Asik bangeeet. Ehehehehe” ujar Uni Fini cengengesan menatap Leon. Membuat Lia dan aku tertawa kecil.
“Oooh kenalin ini Lia dan Leon. Teman, ini Fini.” Dan mereka pun berkenalan. Kami pun berbasa-basi-ria dan akhirnya berpisah. Aku tak sabar apa yang akan Uni Fini katakan secara tertutup.
Hari semakin mendung dan listrikpun padam. Baterai laptop full dan modem oke. Saat kami berjalan menuju koridor kami memergoki segerombolan geng monster boneka. Donald bebek, kelinci, Sonic si landak, Keropi si katak, Kerbau, anak ayam, Monkey, dan… dan… Winnie the pooh? OMG! Ada apa dengan boneka-boneka unyu itu.
“Haish! Kedengarannya mereka punya rencana buat ngerecokin kegiatan kita. Dasar boneka biang kerok!” Lia berbisik namun akhirnya nadanya meninggi juga sampai terdengar oleh wak geng monster boneka, Winnie the pooh.
“Whuoy! Rencana masih kami buat, tapi kalian malah nguping!” Winnie the Pooh marah-marah dengan suara lembutnya, emmm… agak mirip suaranya Vino G Bastian kalo lagi pura-pura jadi cewek. “Serbu! Uuuu lala!”
“Whats! Mereka mau mengejar kita dengan pentungan boneka itu? Ahahaha ada yang lebih serius nggak sih?” ucapku melengos kearah para monster boneka. Kami pun tidak menanggapi serbuan geng monster boneka dengan serius. Namun Leon membuktikan sesuatu yang real bahwa pentungan yang mereka pegang adalah pentungan dari besi. Akibatnya Leon menderita luka di sekujur kakinya. Sebelum pukulan-pukulan itu makin parah, kami telah berhasil mencapai kamar dan menutup rapat pintu kamar.
Di dalam kamar kami terus saja mendiskusikan apa yang telah terjadi hari ini. Berbagai argumen pun keluar dari pikiran kami. Mulai dari pikiran bahwa boneka-boneka itu digerakkan oleh semacam sihir, ini dari Leon. Atau Lia yang berpikir kalau boneka-boneka itu adalah robot. Kalau aku sendiri berasumsi kalau boneka-boneka itu adalah emmmm yaaa boneka. Krik krik krik.
Lia tidur lebih cepat dan aku melirik ke arah Leon. Tampaknya Ia sudah tertidur juga. aku memutuskan untuk mulai membaca email dari Uni Fini. Lamaaa sekali membuka acer windows Xp yang kuberi nama ALIF ini. Tiba-tiba Leon terbangun. Ehm, bukan terbangun tapi Ia memang belum tidur.
“Ka, Riska!” panggilnya setengah berbisik agar tidak membangunkan Lia. Aku terkejut seperempat mati, lalu menoleh pelan kearahnya.
“Ya?” jawabku singkat dengan nada kembali bertanya.
“Temen kamu yang tadi….” Wah agaknya dia naksir Uni Fini ini cikiciew. Kemudian dilanjutkannya, “ Terpesona sama saya ya?” eeee gubrak kecemplung di empang. Pede sekali bujang ini (Eh, bujangan nggak ya dia?). melihat ekspresiku Ia langsung melanjutkan, “Hehehe kepedean ya saya? Eh, by the way, Dia ngirim email apa ke kamu?” Ia bertanya sambil memberikan selembar kertas bertuliskan:

Percaya atau nggak, saya adalah pengawas. Kamu tahu kenapa kamu, sekolahmu, dan sekolah lain berada disini? Itu karena ada sebuah sponsor besar yang menyelenggarakannya tanpa biaya, alih-alih membuat sebuah game untuk game show di sebuah stasiun televisi swasta. Kalau kamu pernah baca artikel tentang iluminati mungkin sponsor ini adalah salah satu pendukungnya. Anggotanya sedikit disini tapi penyebarannya cukup cerdik dan licin. Sebuah organisasi satanisme yang berusaha mempengaruhi kita dengan sihir sigil disekitar kita. Jangan heran kalau sepulang dari sini beberapa dari kita menjadi agak…. Gila. Ini info yang sangat rahasia sekali tapi saya beritahu kamu kalau salah satu diantara kita adalah kaki tangan penyelenggara game ini. Aku menebak orang itu adalah Lia. The Great Teacher nya itu pasti adalah kepalanya. 

Hah! Apa-apaan ini? Sejenak aku mengontrol emosiku. Sejak awal memang rasa saling percaya itu sulit dibangun karena ada sesuatu dalam kegiatan ini. Apa dia hanya menebak Lia dan membeberkannya padaku? Aaaaarghh aku bingung. Satanisme? Iluminati? Kukira itu tidak ada di Indonesia tapi ternyata mulai berkembang juga. Cerdas dan terkonsep. Memanfaatkan pelajar.
Aku membuka emailku dan kurasa ekspresiku berubah jadi ‘sedikit’ tegang, “Ohhh… tentang bisnis kosmetik kami aja.” Aku langsung terdiam. Yap! Aku telah berbohong tentang email apa yang Uni kirim. Sejak kapan aku dan Uni doyan membicarakan kosmetik. Fufufu. “Terus… kamu yakin sama ini?” aku menunjukkan kertas itu padanya.
Of Course. Kita jangan jadi terlalu naif untuk menyadari itu.” Leon mengatakan ‘Of course’ tapi tadi dia hanya menebak. Arrrgh semua ini membingungkan. “Oke. Saya tidur duluan ya…” lagi-lagi Leon tidur di kamar kami. Apa dia tidak pernah berpikir dua kali atau lebih untuk tidur di kamar cewek meskipun berbeda tempat? What kind of boy is he?
Listrik masih mati dan aku berulang-ulang membaca email dari Fini. Unbelieveable. Aku melihat ke sekitar dan merasa merinding. Sofa di ruang depan hanya ada Leon dengan selimut tebalnya karena Ia tak tahan AC. Di bed ada Lia yang tertidur pulasnya. Selain itu hanya ada snack berserakan juga barang-barang kami yang belum sempat dibereskan. Satu lampu emergency menemaniku. Tiba-tiba terdengar suara langkah dari luar kamar. Perlahan-lahan berjalan, lalu berhenti tepat di depan kamar kami. Sekarang aku benar-benar merasa ngeri. Aku menggigit bantal. Asin. Lalu aku menahan nafas sejenak. OMG! Aku bahkan lupa mengunci pintu. Pintu dibuka dan seberkas sinar dari senter memenuhi sebagian ruangan. Suara yang khas keluar dari sang pemegang senter.
“Lho kok ada anak laki-laki disini?!” Pak Virgo mengagetkanku dengan nada agak marah namun Leon tidak terbangun atau pura-pura tidak bangun.
Hufffft Alhamdulillah aku malah lega kalau itu adalah pak Virgo guru PAI kami. Tapi aku juga kelabakan menjawab pertanyaan pak Virgo ini.
“Emmm iya pak dia lagi sakit di kakinya jadi kami yang ngurusin, eh trus dia ketiduran di sana Pak.” Jelasku sekenanya. “Ada apa pak?”
“Waduhhh kalian ini harusnya tetap dijaga etikanya. Masa ada anak laki-laki di kamar perempuan. Trus pintunya nggak dikunci lagi. Bapak dapat tugas untuk memeriksa kamar kalian. Guru-guru yang lain juga itu di luar.” Pak Virgo menjelaskan di depan pintu sambil memeriksa kamar dengan senternya. Aku hanya menganggukkan kepala. “Yasudah bapak pergi dulu. Ingat ya, hati-hati dan jaga perilaku!”
“Oo iya pak. Siap! Terimakasih ya Pak…” Ucapku sambil berjalan ke arah pintu untuk segera mengunci pintu.

Mulai Mencari Jawaban
                Sepanjang game berjalan aku terus-terusan memperhatikan Lia dan Leon. Kata-kata Leon sangat mengusikku, ditambah lagi setelah aku membaca email dari Fini. Aku mulai berpikir lagi, siapakah The Great Teacher nya itu? “ketemu kemarin”? “harus disingkirkan”? hemmm…
Yap! Hari ini adalah hari terakhir diselenggarakannya game. Kami sudah sadar sejak ada surat tantangan bahwa ada dua game dalam kegiatan ini. Game-game kecil itu hanya pengalihan belaka. Seperti apa yang dikatakan Leon.
Dunia terasa berputar lebih lebih lebih lebiiiiiiiihhh cepat sepuluh kali lipat. Kejadian demi kejadian terputar kembali di memori otakku. Sore ini kami harus packing untuk kembali. Tak seperti biasa, bukannya merasa sedih selesai dari liburan, aku malah senang sekali bisa lekas pergi dari sini. Aku perhatikan kembali bangunan ini lekat-lekat. Aura asri jawa indah yang aneh melekat disetiap dinding, pilar, sudut bangunan tumpeng ini.
“Riska!” Lia memanggilku dengan suara berbisik dan aku mendekat padanya. “Lihat siapa yang lagi ada percakapan tertutup disana…” sambil bersembunyi Lia menunjuk ke arah sebuah ruangan kosong.
Ha! Aku terkejut ternyata benar yang dikatakan Lutfi bahwa salah satu anggota ku adalah anak buah organisasi sekaligus sponsor kegiatan ini. Umm, sebentar, biar kujelaskan kenapa tiba-tiba ada Lutfi disini.    
Fini mengirim email dan bercerita kalau sekolah sudah tahu sejak awal tentang adanya maksud dibalik kegiatan yang terlihat menyenangkan ini, makanya mereka meminta kami yang telah di kualifikasi secara emosional, spiritual, dan intelektual untuk dapat turun. Tidak ada unsur kriminalitas disini namun tentu saja satanisme bertolak belakang dengan ajaran agama apapun. Tidak ada alasan untuk mengaitkan hal ini dengan pelanggaran hukum. Kecuali terjadi sesuatu yang tidak terduga. Lutfi mengatakan itu semua ke Fini dan Fini mem-broadcast keseluruh teman-teman sekolah. Lutfi juga mengatakan bahwa bu Hisa yang muncul di plaza saat awal pertemuan sebenarnya adalah panitia penyelenggara. Dan sekarang aku dan Lia melihat Leon sedang diam-diam ngobrol dengan bu Hisa. Pasti ada suatu hubungan sehingga mereka harus berbicara diam-diam seperti itu.
“Ha? Apa Leon adalah pengikut iluminati? Tapi katanya dia pengawas dan….” Ups, aku keceplosan.
Lia memandangku dengan tatapan penasaran, menghakimi, dan terkejut. “Kamu sudah tau?” tanyanya kemudian.
“Ummm… yaaa…”
“Dari Leon?” Lia bertanya dan aku mengangguk. “Huh, gue pastikan dia dapat 9 pelanggaran sekaligus!” Lia membuka buku note kuning kecil dan mencatat sesuatu.
“Kenapa? Kok kamu bisa kasih poin pelanggaran kayak gitu? Jangan-jangan…” Ahh aku sadar sekarang, pengawas sebenarnya adalah Lia dan Leon telah berbohong mengatakan bahwa Ia pengawas.
“Ups, gue nggak bilang apa-apa ya. Dan yang membuat surat tantangan itu memang adalah gue. Memperingati salah satu diantara kalian untuk berhati-hati. Maksudnya adalah agar kita bisa segera selesaikan kegiatan ini lalu pergi.” Jelas Lia. “Cicit-cicit tikus yang mengganggu dan boneka monster. Terus terang gue baru tau ada boneka kayak gitu hiieyy.”
“Trus, siapa itu The Great Teacher?” tanyaku penasaran.
“Guru besar di universitas kami… sekaligus adalah Opa(kakek) gue.”
Wow, amazing.
Berhenti terpesona, aku terus memperhatikan bu Hisa dan Leon. Bu Hisa memberikan sesuatu kepada Leon. Mataku berakomodasi lebih kuat untuk dapat melihat benda apakah itu.
The all seeing eye.” Aku tersentak mendengar ucapan Lia. Benda berbentuk segitiga itu… ya, memang benar apa yang dikatakan Lia.
“Buat apa?”
“Hanya simbol. Tapi menjelaskan semuanya.” Jawaban yang singkat tapi aku mengerti.
Kami membalikkan badan dan terkejut sekali melihat segerombolan geng monster boneka lagi.
“Ingat Riska, yang kamu katakan benar, boneka ini cuma boneka. Jadi…”
Aku melanjutkan perkataan Lia, “Jadi kita keroyok balik saja mereka!” aku sadar bahwa waktu itu Leon hanya berpura-pura tersakiti. Cuih! Sayang banget cowok ganteng macam Dia ternyata bukan sebenar-benarnya teman. Akhirnya kami berhasil melucuti senjata dan menguliti boneka-boneka itu. Ternyata keberanian bisa mengalahkan hal yang tadinya kita takuti ya. Boneka-boneka monster itu meraung-raung dengan suara sesuai dengan jenis mereka. Sekarang mereka memang benar-benar boneka. Setelah dikuliti ternyata sesuai dengan tebakan Lia sebelumnya bahwa boneka-boneka ini di dalamnya adalah robot. Tujuannya untuk mengacaukan suasana kegiatan. Wah Liaaaa… pikiran mahasiswa memang agak lebih diatas dari siswa SMA. Namun aku tidak pernah menyangka pada keadaan selanjutnya.
Grudukkkk drudukkk blak duaarr duuuurk!!!! Tiba-tiba bumi bergoyang. Bukan goyangan dangdut atau jaipong, tapi memang benar-benar bergerak saling menjauhi.
“Gempaaaaaa!!! Gempaaaaaa!!! Gempaaaaa!!!!” semua orang berteriak dan berhamburan mencari tempat yang aman.
“Whoaaa!” Aku dan Lia berlari mengintari tangga spiral sambil menjinjing si ALIF. Kami mulai merasa mual dengan pergerakan lempeng bumi yang tidak biasa ini. Aku menengok ke belakang dan melihat Leon juga sedang berlari.
Leon meneriakkan sesuatu, “Riskaaaa! Jauhi Liaaaaa!!!” apa ini? Leon berusaha melindungiku dari pengawas sebenarnya. Never! jangan harap aku mengikuti perintahnya meskipun Ia adalah ketua tim. Oow, sekarang tidak lagi, aku harus mengikuti langkah kakiku sendiri.
“Leooooon! You’ve lost!” Lia malah balik meneriakkan kata-kata itu ke Leon. Aku melirik ke arah Leon. Ia tampak terkejut dan merasa terhina. Lalu Ia berlari menuruni tangga lebih cepat di tengah gempa untuk mendapatkan kami.
Ini dia. Sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Leon berusaha memecuti kami dengan kain selendang berwarna hitam. Aku dan Lia terus-terusan menuruni tangga dengan nafas tersengal-sengal. Tentu saja kami tidak akan semudah itu berhenti berlari karena Lia adalah jago lari dan aku ikut diseret-seret olehnya.
Gempa ini tidak besar namun berlangsung cukup lama. Tangga spiral ini juga terasa sangat panjang sekali untuk menuruninya.
Ternyata Fini dan Lutfi berlari dibelakang Leon. “Arniiiiii!!!” panggil Emak(panggilan akrab kami kepada Lutfi).
“Arni! Ini ganteng-ganteng nyebelin banget tau nik! iiieh, masa kepedean banget dia mention-mention gua terus di twitter! Sori bentar lagi gua nggak jomblo kok!(probably, She means that she has another guy.)” Fini malah curcol diantara kepanikan ini. Leon yang merasa tersinggung langsung berhenti dan siap-siap melakukan serangan kearah belakang.
No Way!” Emak Lutfi langsung menangkis dan melindungi Fini, lalu langsung membekap Leon dengan kain yang dipegang Leon. “Bener kan nik kata gua.”
‘Iya maaakkk.. lo emang good nggak Cuma fisika tapi juga hal-hal kayak gini.’ Batinku.
Pintu depan semakin dekat dan aku sudah bisa melihat wajah-wajah yang aku rindukaaaaan sekali belakangan ini. Wajah teman sekelas dan teman kelas lain. Rasanya aku ingin memeluk mereka semua secara bersamaan. Aku dan teman-teman yang lain akhirnya berhasil keluar dari gedung itu. Lelah sekali. Aku bertanya-tanya dimana Leon dan anggotanya yang lain? Apa yang sebenarnya mereka rencanakan? Bagaimana keadaan teman-temanku yang lain? Kenapa bisa jadi seperti ini? Apa yang selanjutnya akan terjadi? Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku.
Nafas ini…. tersengal tapi aku sangat bersyukur. Terimakasih ya Allah. Alhamdulillah.
Lambat laun aku merasa nyaman. Samar-samar terdengar suara yang meneriakkan namaku dan nama teman-teman yang baru saja keluar dari gedung.
“Baboooonn!!! Babooooon!”
“Arniiiiiii!”
“Riskaaaa!”
Banguuuun. Banguuuuuun. Ah, apakah aku pingsan? Memang, perlahan yang kuliahat hanyalah hitam… lalu putih.
Banguuuuun!
“Karena kusuka dirimu, inginkan dirimu! Oow…” Sebuah soundtrack lagu dari RAN akhirnya membangunkanku. Aku tersadar dan ternyata semua itu hanya mimpi. Mimpi tentang sebuah tempat yang aku kenali tapi tidak ku ketahui, hidden place. Fin~
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------     
-------Cerita ini nyata berdasarkan mimpi yang pernah terjadi dalam tidurku di tahun 2011. Mimpi yang begitu melekat dan fantasi sehingga aku mengembangkan ceritanya dan menulisnya.------

TTD
Ms. Kriting-arny