Terserah,
aku tak perduli
Namaku
Riska. Sebelumnya aku belum pernah berpikir untuk melakukan petualangan gila
seperti yang sering terjadi di film-film. Tapi aku akan menyanggupi jika aku
mendapatkan tantangan seperti itu. Semangat memang sangat diperlukan bukan?
Apalagi untuk remaja berusia 16 tahun sepertiku dan mungkin, seperti para
pembaca. Meskipun entah apa yang akan aku lakukan jika aku telah menjawab
tantangan seperti itu. Hidupku biasa saja. Tapi momen-momen kebersamaan bersama
keluarga, kerabat, dan sahabat-sahabatku membuat hidupku jauh lebih berwarna
dari gambar yang aku buat. Karunia Tuhan memang tak tertandingi.
Suatu
hari, pagi-pagi sekali aku berangkat ke sekolah untuk melaksanakan tugasku.
Piket. Tetapi ada yang berbeda dengan keadaan sekolah daripada biasanya. Aku
melirik jam tanganku. Pukul 6.30. kemudian aku melihat keadaan sekolah sekali
lagi dengan saksama. Aku tercengang dan hampir ngeces.
“Rajin
gilaaa nih anak-anak. Ada gitu yang ngalahin kerajinan gue.” batinku.
Ya,
SMA swasta tempatku bersekolah yang beken itu ternyata sudah dipadati oleh
siswa-siswi sejak pukul 6.20 tadi. Plaza, koridor, bahkan pilar-pilar
sekolah penuh sesak. Mereka tidak nemplok
di pilar kok, tapi mereka memadati bagian pilar dan tembok karena mungkin
menurut mereka ada yang sangat menarik yang kudu
di lihat. Kalau tidak mereka bisa meninggal, meninggalkan tempat itu maksudku.
Aku
berusaha untuk tidak tertarik akan hal itu. Aku ke kelas, menaruh ranselku,
mengambil sapu, kemudian menyapu. Aku mendecak kesal melihat sandal ruangan
kelas berserakan di bawah meja. Arrrrgh.
“Lama-lama
sandal-sandal ini ku buang aja!” ehm, mungkin aku sedikit berlebihan. Mungkin
lebih tepatnya aku berkata, “Lama-lama sandal-sandal ini ku jual ajaa^^” nah,
itu lebih baik. Lumayan, pelajar-boros-kurang-kaya ini dapat keuntungan dari
sandal-sandal “cantik”-terlajur-coklat itu. Tapi, tentu saja hal itu takkan ku
lakukan.
Tiba-tiba
aku dikagetkan dengan suara yang tak asing di telingaku, “Hei! Ngapain lo di
sono aja! Lo nggak berminat apa?” sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya,
dia langsung melanjutkan berbicara, “Kalo lo minat dan sanggup, disuruh ngumpul
di plaza utama kata pak Randi.” Ya, si suara nyaring bak petir kilat badai
dijadikan satu itu memang khas di telingaku. Ia lah Si Bibir. Lalu dengan
tergesa-gesa Ia pergi dari hadapanku.
Aku
kaget. Sapu ku terjatuh. Aku menarik nafas dalam-dalam. Kemudian aku
melanjutkan pekerjaanku. Tanpa sadar ada tangan yang menarikku dan menghadapkan
aku pada papan pengumuman. Aku terkejut, ya, terkejut sekali karena aku tak
melihat apapun selain hasil TO yang sudah kulihat 15 kali. Kemudian aku
mendengar kata “lho? Waduh salah!” dari orang itu. Tiba-tiba tangan itu
mendorongku dan tanpa perlawanan aku mengikutinya sehingga aku berhadapan
dengan sebuah pengumuman yang sedari tadi diributkan para siswa, kurasa. Haha,
lucu sekali. Jadi, karena aku tidak tertarik, aku harus membacanya? Tapi memang
itulah yang aku lakukan.
Selang
beberapa detik hidungku mengembang. Beberapa detik kemudian hidungku mengempis.
Beberapa detik kemudian mulut ku menganga sedikit. Aku terus membacanya sampai
selesai. Mulut ku menganga penuh dan bom akan meledak. “Aaaaaaaaaa!!!!”
astaghfirulloh, alangkah besarnya suaraku. Aku menatap kedua sahabatku. Dua
gadis itu melipat tangan dan tatapan mereka begitu menukik. Mereka akan
mengintimidasi ku yang bodinya lebih besar ini.
“Apa?”
vokal ‘a’ terdengar seperti ‘o’ ditelingaku.
“Hehee…
itu, in, ini, emm.. pi, pingin, hehe.” Ujarku sambil menunjuk-nunjuk pengumuman
itu. Baiklah, setelah bertindak pongah-sok-gak-mau-tau-apapun-oh-whatever-deh,
sekarang aku seperti seseorang yang kena candu Justin Bieber. Aku akui, aku
sangat tertarik dengan apa yang diumumkan disini. Ini sama saja seperti surat
tantangan.
Kualifikasi
yang aneh
Kami
akan melakukan journey-atau entahlah
bagaimana aku harus menyebutkannya. Bukan seperti study tour atau wisata ilmiah. SMA ku ini memang sangat kreatif dan
inovatif. Wisata yang diselenggarakan oleh pihak sekolah bukanlah wisata sambil
mengunjungi tempat-tempat wisata budaya, universitas, atau tourism spot lainnya sambil menggali info yang ada. Melainkan
wisata di wilayah jawa bagian tengah yang entah apa namanya, sambil bermain game. Ya, hebat bukan? Aku saja kaget,
sejak kapan sekolahku ini mau melaksanakan sebuah kegiatan yang isinya
permainan. Bagi sebagian murid tentu saja ini adalah hal yang mengasyikkan,
terutama aku. Aku tertarik akan seperti apa game
yang diselenggarakan ini. Aku sangat tertarik seperti siswa lain yang entah
sebesar apa lagi rasa ketertarikannya.
Sampai
hari packing pun aku masih belum tahu
game seperti apa yang akan
diselenggarakan. Namun, kabar yang aku dengar, sebenarnya bukan hanya sekolahku
saja yang menyelenggarakan wisata macam ini, tapi 5 SMA terkemuka lainnya juga
ikut berpartisipasi. Dan parahnya lagi, ke enam SMA akan digabung kegiatannya
menjadi satu event, satu waktu. Tidak
hanya itu, setiap peserta nanti akan dibuat menjadi kelompok-kelompok kecil
untuk melakukan bermacam-macam game
yang tak ubahnya seperti tantangan. Satu kelompok terdiri dari peserta-peserta
dari sekolah yang berbeda. Aku pikir, salah satu tujuan dari pengelompokan
seperti itu adalah untuk mengetes kemampuan sosialisasi masing-masing siswa.
Aku
agak shock. Aku tak bisa bayangkan
betapa padatnya tempat yang akan kami kujungi itu. Namun, pada kenyataannya,
ada tes kualifikasi tertentu untuk dapat mengikuti wisata ini. Pertama, nilai
rata-rata setiap pelajaran harus 7, boleh lebih tak bisa kurang. Kedua, siswa
harus memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang sudah
digariskan dengan standar. Ketiga, punya uang 20.000 rupiah untuk administrasi
pendafataran. Kemudian mendapatkan kartu peserta dan sah menjadi peserta
setelah tandatangan diatas materai. Aneh aneh aneh.
Memang
aneh. Tapi aku bisa menarik kesimpulan dari ketiga syarat tersebut. Kesimpulan
pertama, sekolah membutuhkan peserta yang sanggup mencapai target sari sebuah
peristiwa dan memenuhi kualifikasi, dibuktikan dari nilai yang diatas KKM.
Kedua, kegiatan yang akan dilakukan adalah kegiatan untuk melatih mental, yang
melibatkan kecerdasan pikiran, emosi, dan spiritual. Dari syarat yang kedua aku
bisa sedikit menggambarkan bahwa game
ini akan seperti game-game pada umumnya. Namun mungkin agak berbeda dan
istimewa. Ketiga, sekolah begitu perhatian hingga tahu sifat setiap murid dari
ketiga kecerdasan tersebut. Pasti data Hasil Pemeriksaan Psikologis yang
diambil setahun lalu masih disimpan dan menjadi arsip sekolah.
Baiklah,
karena nilai KKM kelasku sedari kelas 10 adalah 7, otomatis keseluruh 36 siswa
akan ikut dalam journey ini dan kami
akan satu bus karena sepertinya guru-guru tak mau repot membagi-bagi tempat
duduk bus lagi. Haa, perjalanan yang bakal menyenangkan sekali apalagi di
penghujung tahun kami bersekolah di SMA tercinta ini.
Yey,
berangkat!
“Ciul,
buka warung kita ciul,” Ucap Lili, cewek berkacamata yang sedang mengemas
sekardus makanan ringan untuk bekal selama diperjalanan.
“Asli
rud! Eh, kita jauhan sih sama Babon…” ujar ciul sedikit sedih menatap padaku.
Oke.
aku jelaskan terlebih dulu siapa Rud, Ciul, dan Babon disini. Wanita muda yang
bernama Lili itu di panggil Curud(cukup renyah untuk dimakan), Tia sebagai
Ciul(cinta ini untuk selamanya) dan aku selain dipanggil Riska, Arni, biasa
juga dipanggil dengan sebutan Babon(bahkan aku begitu memohon padamu). Lumayan
lah ngarang-ngarang sedikit dengan kepanjangannya.
“Empat
ratus orang apa nggak padet woy?” tanyaku pada salah satu dari mereka.
“Kalo gue rasa sih nggak
juga. Soalnya bus-bus nya nanti saling nyusul dan tempatnya nanti tu luas loh
Bon,” jawab Lili sambil menunjuk-nunjukkan jarinya tak jelas.
Tiga
gadis berpostur tubuh sama tiba-tiba datang dengan tidak sabaran mendekati kami
berebut untuk menceritakan sesuatu. Sesuatu yang entah penting atau tidak.
“Guuuuys! Tau nggak?! Katanya nggak cuma
anak SMA doang yang ikut, tapi ada mahasiswa juga!” lagi-lagi yang bersuara
agak melengking ini yang memulai.
“Masa
coy? Tau dari mana?” tanya Ciul tak kalah bringas.
“Dari
Mbe lah. Sumber terpercaya kita selama ini. Mbe dikasih tau Pak Randi. Yang
laen juga udah dikasih tau tauk woy, cuma kelas kita aja yang belom,” gadis
yang berwajah agak kotak menjawab dengan nada berapi-api. Sepertinya Ia ingin
membuat the new lautan api.
“Asik
dong men, ada kecengan,” ucapku genit.
“Sangka
elo mbak Babooon! Mahasiswa-mahasiswi itu tu tu fungsinya buat ngawasin kita.
Lagian yah, nanti tu nggak akan ada perkenalan asal sekolah, kelas, apalagi
yang dari perkuliahan. Kita nanti cuma disuruh tau nama doang… nggak lebih,
tapi harus paham pribadi dan bisa kompak dalam satu tim,” jelas gadis yang
biasa kupanggil yuk Uci atau Icuz itu.
Baiklah,
akan kujelaskan dulu siapa mereka bertiga ini. Mereka adalah Trio Kuntilanak.
Oh, bukan. Mereka ini TRIOSSS alias Trio S, Shilvy atau Silpeh, Suci atau Icuz,
Sulis atau Rinie bisa juga dipanggil Mimo. Mereka adalah Trio yang
menguntilanaki kelas kami. Kalau orang yang bersangkutan mendengar hal ini
mungkin aku akan dipenyet hingga tak bisa gendut lagi. Haha. Tapi aku percaya
kok, mereka tipe orang yang bisa memaafkan setetes kesalahan teman mereka. Ya
kan? Ya kan?
“Eh,
udah selesai nih kita packing nya. Ke
ruang sirkulasi kelas yuk! Kayaknya yang lain udah pada nungguin,” ajakku.
Kami
pun berjalan menuju ruang sirkulasi kelas yang aku maksud. Ruangan ini terletak
di sebelah timur sekolah. Bersebelahan dengan ruang Rohis, Pramuka, EC, dan
UKS. Kami memakai ruangan ini atas izin Pak Jojo, kepala sekolah kami yang baru
dilantik agustus lalu.
Ruang
sirkulasi itu memiliki dua ruangan yang lebih kecil lagi di dalamnya. Seperti
tempat kos pada umumnya, sama seperti ruang BK yang dimiliki sekolah. Aku masuk
ke ruangan kedua. Terlihat Sari, Aldi, Rio, Hilda, Dedew, Tiara, Ryana dan Cita
sedang mengoperasikan komputer dan beberapa teman-teman lain mengerumuni layar
secara keroyokan dengan muka serius alakadarnya. Hemm, sepertinya sedang seru.
aku pun mendekati mereka.
Ternyata
mereka sedang melihat video, tapi tidak begitu jelas video apa yang sedang
mereka tonton. Selang 2 detik aku melihat, video nya sudah selesai. Aku
menyerobot kerumunan itu dan duduk tepat di depan komputer bersama Cita dan
membelakangi Aldi. Teman-teman yang lain pun berteriak “apasih” nyaris
serentak. Cita mulai mengutak-atik winamp. Kemudian Ia mem-play beberapa lagu remaja masa kini. Tapi entah kenapa musik nya
tak kunjung kedengaran ditelinga kami.
“Oh
ya Allaaaah Di! Ambil salon Di. Masa nggak ada salon gini komputernya,” Cita
langsung menyadari kalau ternyata komputer itu tidak mempunyai speaker.
“Udah
sih nggak usah pake salon. Dandan sendiri juga bisa kan,” jawab Aldi dengan
gaya selengekannya. Garing.
“Dandan
gigimu! Ayo dong Di…”
“Eh,
bentar dulu. Nih aku ada speaker
gitar,” Sari mengeluarkan sebuah gitar cantik berwarna coklat yang mengkilap.
“Wow,”
kontan saja kami semua terpesona melihat speaker
itu.
Tunggu
dulu, ada yang berbeda dengan gitar itu. Gitar itu tidak memiliki senar tipis
yang bisa berdenting seperti gitar pada umumnya. Alat musik petik ini tidak
menggunakan senar, melainkan benang! Ya, antara benang wol hijau dan nilon
putih yang saling berselingan. Benang-benang itu terus memanjang hingga
kebelakang gitar. Dikepala gitar terdapat miniatur dua naga yang saling
bercengkrama, ukiran yang sangat menawan.
“Baru
lihat ada gitar kayak gini. Gimana mainnya Sari?” tanya Cita penasaran.
Sari
menyambung kabel putih yang ada disisi gitar ke komputer. “Gampang aja, kayak speaker komputer biasanya kok.” Jawab Sari santai.
Pelan-pelan
terdengar alunan musik dari dalam gitar itu. Gitar itu benar-benar sebuah
speaker besar yang unik, yang belum pernah kulihat, bahkan teman-temanku yang
lain pun begitu. lambat laun benang wolnya memutar kearah atas dan benang nilon
memutar kearah bawah. Mereka tampak seirama dengan musik. Wow! Kami tercengang
menatap dua naga yang semula diam tak bergeming kini menari berputar naik turun
di kepala gitar itu.
“Oke
deh teman-temanku, bus sudah menunggu. Saatnya kita cao dan happy-happy!” Aldi sebagai ketua kelas
memerintahkan kami semua untuk meninggalkan tempat itu segera dan masuk kedalam
bus.
Aku
mulai riweh sendiri karena belum sempat ke kamar mandi. Wah Lili pasti sudah,
pikirku. Suara bus nyaring terdengar ditelingaku. Tapi speaker berbentuk gitar
ini lebih menarik perhatianku. Bukannya cepat-cepat keluar dari ruangan itu,
aku malah mendekati gitar itu lagi dan melihatnya lekat-lekat. Aku heran
bagaimana sentuhan benang wol dan nilon ini bisa menghasilkan suara. Aku jelas
mendengar gesekan benang-benang itu tadi diantara musik yang bermain. Rasanya
jariku bergerak sendiri mendekati benang-benang itu. Tiba-tiba, “Ah!” jariku
terlilit benang-benang itu!
“Wooy.
Haaah. Gimana ini. Jangan tinggalin gue doong! Tolongin nih makin kusut!” aku
berteriak tak karuan berharap Sari atau Cita yang terakhir keluar dari ruangan
ini menolongku dan tidak memarahiku.
“Aduh
aduuuh Arniiii. Ngapain sih lo,” waduh kacau. Malah pak ketua kelas ini yang
datang. Bisa-bisa dimarahin ini. Tapi, lihat apa yang akan dilakukannya.
“Ampun
mister Aldi! Lihat deh, kusut benangnya. Tolongin ini,” ucapku panik.
“Haah,
ada-ada aja. Sini-sini gue benerin,” Aldi mendekati gitar itu seperti dokter
yang akan memberikan pengobatan pada pasiennya. Aku menjauh. “Beres”.
Wah,
memang mantap bapak ketua kelas ini kalau masalah komputer. Rasanya aku ingin
menyewanya juga untuk memperbaiki sanyo yang ada dirumah. Siapa tahu dia bisa
dan berbakat akan hal-hal seperti itu. Hahaha.
Akhirnya
aku bisa juga bernafas lega. Tapi tak sampai disitu. Saat masuk kedalam bus aku
di sambut riuh bak artis. Yup, artis yang dibayar mahal tapi cuma bisa nyanyi
dengan mic terbalik.
“Maaf,
maaf,” aku malu sekali. kenapa juga aku selalu telat kalau ada acara berpergian
seperti ini.
“Arni
sini!” Sulis memanggilku. Aku pun duduk di sebelahnya. Bus berjalan. Setelah
sepuluh menit perjalanan, aku baru benar-benar ingat kalau aku tadi memang tak
sempat ke kamar kecil untuk ‘bersiul’. Ya, semacam kode yang bus kami gunakan
jika ingin ke kamar kecil.
Lima
menit berikutnya, “BERSIUUULLL!! BERSIULLLL! Bener-bener pengen bersiul niiih!”
aku benar-benar tak tahan lagi. Aku disoraki lagi oleh teman-teman satu bus
termasuk wali kelas dan juga guide
kami. Ambil positifnya saja. Hari keberangkatan ini merupakan hari artisku.
Yap, sudah. Itu saja kata-kata penghibur dariku untukku.
Dimana
ini? Tempat yang asing…
Aku
melihat ke sekeliling dan memastikan dimana posisiku sekarang. Aku
memperhatikan Ciul dan Lili yang memegang peta dan GPS. Tampaknya mereka
benar-benar tidak mengenali tempat ini. Kalau aku… tentu saja aku mengenali
tempat ini. Kami kan pernah kesini. Tapi, tunggu dulu! Aku memperhatikan lagi
semua yang ada disana. Aneh, aku juga tak mengenali tempat ini. Misterius. Aku
menggelengkan kepalaku karena tak percaya pada sesuatu yang telah kulihat.
Matahari
terik sekali menyengat kami yang diperintahkan untuk tetap berdiri dan menunggu
instruksi selanjutnya setelah pemarkiran bus-bus limabelas menit lalu. Empat
ratus orang siswa yang ikut, ditambah lagi seratus kakak-kakak pendamping dari
sebuah universitas terkemuka yang entah universitas mana. Aku tak tahu harus
beranggapan apa pada mereka karena aku masih sangat tidak mengerti akan
bagaimana permainan yang diadakan. Sungguh tidak mengerti. Jalani saja,
pikirku.
![]() |
mirip, tapi bukan. |
Aku
tak pernah habis pikir akan ke tempat seperti ini. Aku yakin pernah lihat
tempat ini. Yah, mungkin di mimpi atau mungkin ada bangunan lain yang mirip
dengan bangunan di depanku yang pernah kukunjungi. Entahlah. Yang pasti, tak
jauh dari lapangan tempat kami dikumpulkan terlihat sebuah gedung berbentuk…
emm, pyramid? Oh, bukan. Tentu saja bukan pyramid. Tidak ada pyramid raksasa di
Indonesia yang sebesar ini. Tapi, lebih tepatnya gedung ini berbentuk tumpeng,
nasi tumpeng. Sekali lagi aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku ingat. Ini
Monjali! Monumen Jogja Kembali. Sama persis. Jadi… sekarang posisiku ada di
jogja tho.
“Semuanya
harap tenang. Gedung seperti nasi tumpeng yang ada di depan kalian adalah hotel
yang akan kalian tinggali selama 3 hari kedepan. Sekarang panitia akan membuat
kelompok. Silakan tas kalian dikumpul di depan karena pembagian kelompok ini memerlukan
proses.” Pak Randi menjelaskan.
Apaaa?!!
Hotel??! Jadi, ternyata gedung itu bukan Monjali, tapi hotel. Aku tidak melihat
ada tugu selamat datang di hotel bla-bla-bla sewaktu memasuki area ini tadi.
Aneh. Dimana ini? Daerah ini memang tidak kukenali. Banyak yang berbeda dari
perkiraanku, sedikit yang sama, yaitu bangunan tumpeng itu dan semak-semaknya.
“Hoi!
Ngelamun aja! Tas lo taro’ situ ni!”
suara Sulis mengagetkanku.
“I-iya
Rin.”
Aku
sedikit berdebar siapakah yang akan menjadi anggota kelompokku nanti. Tentu
saja aku harus menahan keingintahuanku tentang asal mereka dari SMA mana dan
mana diantara mereka yang mahasiswa. Menanyakan hal itu akan membuatku mendapat
6 poin pelanggaran sekaligus. Jika peserta mendapat 10 poin pelanggaran, maka
peserta akan di diskualifikasi. Sedangkan peserta yang tidak mendapatkan poin
pelanggaran sama sekali, peluang menang mereka semakin besar. Tampaknya
kegiatan ini mulai rumit dan aku tak ingin berpikir terlalu berat akan hal itu.
Tim
ku, teman atau ….
Kelompok
sudah terbentuk. Jumlahnya antara 3 sampai 4 orang dengan nama kelompok yang
sudah ditentukan panitia. Baiklah, akan kuperkenalkan nama-nama anggota kelompokku,
kelopok Naga Sakti. Nama yang agak konyol tapi aku suka nama itu. Pertama,
Leon. Kedua, Lia. Lalu, aku sendiri, Riska atau Arni. Kami sudah berkenalan
dengan menyebutkan nama saja. Entah mengapa, otak dan hatiku terus saja
berprasangka dan menebak-nebak, siapakan diantara mereka berdua ini yang
seorang mahasiswa dan bertindak sebagai pengawas. Ah, kalau begini, akan ada
rasa saling curiga antaranggota tim. Aku mulai berfikir, kami akan menjadi satu
tim yang solid dan memiliki satu tujuan atau mungkin malah akan menjadi rival
yang saling mencurigai.
“Riska,
Lia, ketua kelompoknya mau gambreng atau gimana nih?” Leon mulai angkat bicara.
Leonard
Putra Legowo memiliki potongan rambut cepak yang rapi, namun sedikit berantakan
dipenampilan luarnya dan selalu memakai jaket diluar kaosnya. Dan yang membuat
aku kaget dan agak gerogi saat tahu aku se tim dengannya, dia tampan. Ya, setidaknya
itu menurutku. Lalu, Ia memiliki tinggi yang sedang untuk ukuran laki-laki.
Sejak pertama kali bertemu aku menebak Ia lah sang pengawas karena Ia terlihat lebih
dewasa. Sedangkan temanku yang satu lagi, Aliandra Julianita atau Lia memiliki
penampilan yang hampir ‘sama’ dengan Leon. Ia memakai t-shirt dengan kemeja
terbuka diluarnya, rambutnya sebahu dan digerai begitu saja. Ia memang terlihat
tomboy dari cara berpakaian dan gaya bicaranya. Lia juga memiliki tubuh yang
kecil, jadi kupikir dia bukan sang pengawas karena Ia terlihat unyu seperti anak SMA. Haha. Perkiraanku
saja.
“Riskaaaaa…
helloooow. Gimana kalau Leon aja ketuanya?” Lia menepuk-nepuk kedua tangannya dihadapanku.
Aku kaget. Leon tampak menertawaiku. Belum-belum aku sudah melamun dan membuat
mereka menunggu jawabanku karena lamunanku sendiri.
“Ha,
Iya. Iya Iya. Setuju banget. Dia kan laki-laki sendiri. Hehe-” Jawabku
sekenanya.
“Kamu
suka melamun ya Riska?” tanya Lia dengan gaya premannya.
“Hemm…
enggak.” Mendengar jawabanku Lia tampak memelototiku. “Hehe.. Iyaaa. Maaf ya. Emang
suka nggak fokus nih.”
“Wah,
bahaya Riska. Habis pembagian kamar, kita latihan ke-fokus-an ya nanti.” Leon
mulai bertindak sebagai ketua.
“Oke.”
Sekarang aku mulai merasa nyaman berada diantara mereka.
Surat
Tantangan
Pagi
yang segar ini jangan disia-siakan. Aku membangunkan Lia yang masih tekapar di springbed merah kamar kami. Tadi malam kami bertiga mengobrol
sampai tengah malam sampai-sampai Leon tak sanggup lagi pulang ke kamarnya yang
berada dua kamar di kanan kamar ini. Pagi ini aku sudah mandi dan siap
jalan-jalan pagi untuk menikmati udara. Sekarang pukul 5.35 dan pukul 8.00
nanti kami harus berkumpul di plaza untuk memulai game-game kecil yang
sepertinya akan sangat menyenangkan. Yah, ternyata ketahuan juga kalau kami
akan melakukan kegiatan game show untuk
acara di sebuah stasiun TV swasta.
Leon
dan Lia belum juga bangun. Kemudian kugoyang-goyangkan lagi tubuh Lia dan Leon.
Lia selesai mandi dan kami berdua pun menjemput Leon yang ada di kamarnya.
Sepertinya Leon masih tidur. Tetapi lagi-lagi dugaanku dibanting
seremuk-remuknya. Leon ternyata sudah sarapan duluan.
“Arrrrggh!
Anak ini curang banget, nggak nunggu kawan lagi. Riska, kita gebukin aja dia
nanti!” Tampaknya Lia sangat bersemangat untuk hal ini.
“He-he,
terserah deh. Eh, kita mau jalan-jalan dulu atau sarapan?” tanyaku tanpa
menganggap serius ucapan Lia sebelumnya.
“Breakfast is the most important! Ayo!” dan Lia lebih bersemangat untuk hal
ini.
Masih
ada waktu sekitar satu jam untuk berkumpul dan melaksanakan instruksi
selanjutnya dari atasan(baca:panitia). Belum-belum aku sudah kangen dengan
teman-teman sekelasku, dan tempat ini terlalu ramai untuk mencari 35 orang yang
terpencar diantara 399 orang. Tapi, siapa tahu dijalan nanti aku bertemu
mereka.
Aku
dan Lia mengintari tangga spiral hotel berbentuk tumpeng itu. Tangga selebar 5
meter itu padat dipenuhi para peserta, namun aku tak menemukan dimana mereka. Lalu
aku memperhatikan kesekeliling taman. Terlihat ada banyak tanaman penghias
taman berbentuk piramid ada juga yang dibentuk seperti ular. Sangat berseni
namun juga aku merasakan hawa aneh yang sulit dijelaskan. Kawasan hotel juga ini
sebenarnya cukup asri asal saja daun-daun kering itu dibersihkan. Aku melihat
ke arah semak-semak dan mendekatinya.
“Hei
ngapain kamu?” Lia tampak bingung.
“Sebentar
doang. Mau observasi lokasi dulu.” Jawabku sekenanya.
jalan menuju hotel |
Aku
dan Lia mendekati semak itu perlahan. Lalu, tiba-tiba semak itu bergoyang. Aku
berpikir positif saja, itu angin.
“Lia,
apa itu?”
“Mau
kucari tahu?” Lia mengambil ancang-ancang untuk menerobos semak-semak setinggi
200 cm itu.
“Nggak
usah ah. Takut…”
“Eh
nyantai aja kali. Ya ya?” sebelum aku menyetujuinya Lia sudah langsung
menerobos semak-semak itu. Tapi, yang terjadi malah separuh tubuhnya
terperangkap kedalam semak kemudian sesosok kelinci putih bertelinga biru
keluar dari semak itu.
“Eh,
ada kelinciiiii.. kok bisa ya?”
“Entar
dulu Riskaaa terpesonanya, bantuin keluar dari sini dong.”
“Hahaha.
Oh iya.” Lantas aku membantunya keluar dari semak itu. Kami memperhatikan
kelinci itu dan berkata ‘hello’ secara serentak. kelinci ini berbeda sekali
dengan kelinci biasa. Kelinci ini tak lantas kabur ketika didekati manusia
asing. Ia malah menengok kepada kami berdua bergantian. Dan, waw kelinci ini
mengenakan vest.
“Kok
kayak Alice in Wonderland ya
tiba-tiba ada kelinci muncul.” Bisik ku pada Lia.
“Tapi
kayaknya dia nggak bisa ngomong deh Ka.” Ucap Lia menduga-dua.
“Gimana
nih? Mau dipelihara atau dilepas aja?”
“Dilihat
dari tampilannya, kelinci ini punya majikan. Masa iya kelincinya pake baju
sendiri.”
“Bener
bener bener. Tapi kelincinya imut banget. Sayang kalo dilepas…”
“Iya
sih… iihhh cute banget sih kamuuuu.
Kayak boneka.” Lia mengelus.. eh, bukan mengelus, tapi, menyentuh bagian
telinga biru kelinci itu. Tapi, yang terjadi adalah... kelinci itu kemudian
bersuara. Seperti anjing! “Grrrrrr”. Seakan-akan dia mengatakan, “JANGAN GANGGU
AKU! JAUHI AKU ATAU AKAN KUPUTUSKAN JARIMU!”
“Lia….”
Aku mencengkram bahu Lia gemetar.
“Iya
Riska… hitung dari tiga ya..” Lia pun mempunyai ide yang sama denganku.
“Kenapa
nggak dari satu aja.” Protesku sambil cengar-cengir pada kelinci itu.
Kelinci
menajamkan matanya, memperlihatkan giginya yang ternyata mempunyai taring,
matanya berubah menjadi merah. Tapi jelas sekali ada yang aneh dengan mulut
kelinci itu. Itu bukan mulut kelinci atau anjing, tapi mulut boneka! Seperti
jahitan bahan-bahan pembuat boneka pada umumnya.
“Hei,
kelinci ini bukan kelinci…” aku menahan Lia yang hendak menghitung.
“Iya…
tapi dia monsteeeeeeeeer!!! Lariiiiii!!! Nggak ada waktu buat ngitung lagi!”
Aku
pun hanya dapat mengikuti kemana Lia melangkah tetapi mataku tak lepas dari kelinci
itu. Aku melihat, kelinci itu tidak kembali ke semak-semak tapi malah masuk ke
dalam gedung hotel, tepatnya itu daerah dapur. Oh, memang tak ada alasan untuk
tetap bersama kelinci manis yang bisa berubah mengerikan itu. Tapi sesungguhnya
rasa ingin tahu kenapa kelinci itu malah pergi ke dapur, begitu kuat.
Aku
kelelahan untuk berlari dan terus berlari mengikuti Lia yang sangat ‘biasa aja’
dalam hal berlari karena badannya yang ringan itu sepertinya mudah dibawa
berlari. Dan aku baru sadar…
“Tunggu
dulu, kok kita masih lari sih?” tanyaku.
“Ha?
Iya ya.” Lia juga baru sadar karena apa kami berlari kalau bukan untuk menjauhi
kelinci imut yang menyeramkan tadi. “Yaaaaaa…. Olah raga dong! Satu dua satu
dua…”
“Ngeless
deh.. mentang-mentang jago lari.” Kataku sewot.
“Haha,
udah yuk kita balik aja, udah keringetan gini.”
“Eh,
tapi kelinci itu... tadi… dia... Aneh.”
“Apanya
yang nggak aneh disini coba? Semak, taman, dapur, semuanya aneh. Lokasi ini
kayak bukan Indonesia, tapi jelas lingkungan diluar lokasi ini adalah
lingkungan jawa. Semua ini agak nggak logis.”
“Bukan
Indonesia? Jawa? Jadi sebenarnya kita ada dimana sih?”
Belum
sempat Lia membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaanku, bel berbunyi. Kami
semua harus berkumpul di plaza.
“Jadi
sebenarnya kita…” aku mengulangi pertanyaanku.
“Nggak
tahu.” Hanya itu yang dikatakan Lia. Dia juga tidak tahu kami ada dimana
sekarang. Aneh dan belum jelas. Wah, kelihatannya teka-teki semakin rumit saja.
“Hei
hei kalian berdua!” suara yang mulai tak asing bagiku. Itu suara Leon.
Kami
menoleh dan tanpa panjang lebar kami berdua mendekatinya, lalu mencekiknya,
lalu menyeretnya kesemak yang tak tahu ujungnya kemana itu, lalu kami bakar
dia. HAHAHA.
Ups!
TENTU SAJA hal-hal diatas tadi TIDAK
kami lakukan.
Oke,
biar kuulangi sekali lagi. Kami menoleh dan tanpa panjang lebar kami berdua
mendekatinya, kemudian Lia menepuk bahu kiri Leon dan menahannya.
“Kita
satu tim lho. Lo kemana aja?” bahasa lo-gue Lia tak sengaja keluar. Perjanjian
kami bertiga : sebisa mungkin tidak menggunakan kata ganti lo-gue karena
menurut Leon kata ganti itu kurang lembut dikatakan. Saya-kamu jauh lebih baik,
menurutnya. “You kemana aja?” Ulang
Lia.
Leon
balik menepuk bau kiri Lia dan tidak melepaskannya. “Kita dapat surat
tantangan.”
“Hei
tunggu dulu!” aku menyandarkan kedua lenganku ke bahu mereka. “Surat tantangan
gimana?” Baaaiklaaah…. sekarang kami tampak seperti tiga macan. Cocok sekali.
Saaaangat akrab.
“Disini
sempit ya.. kesana yuk! Kayaknya masih banyak ruang hampanya.” Lia mengusulkan,
lalu kami bertiga hanya senyam-senyum, mesem-mesem tak jelas.
“Cek
seragam kita yang disediakan tadi pagi, ada hidden
massage disana.” Jelas Leon.
“Kami
belum tau soal seragam itu.” Lia menaikkan kedua tangannya sebahu.
“Oh
iyaaa… soalnya bajunya itu di lemari, bukan di koper kalian!”
Priiiiiittt!
Priiiiiiiiiitttt! Peluit yang didekatkan ke mikrofon itu cukup membuat sebal.
Tapi kami tetap harus menuruti kemana sang peniup mengarahkan. Kami pun diam
dan cepat menyusun barisan. Seorang guru bernama bu Hisa—yang entah dari SMA
mana—menjelaskan perihal seragam yang telah disiapkan di lemari kamar
masing-masing. Kami harus menge-check
nya setelah game-game kecil ini berakhir.
Menyenangkan
untuk have fun with the games sampai
dzuhur tiba tapi bukan itu yg ingin aku ceritakan. Anggap saja game-game
reality show ini telah usai. Selanjutnya, aku, Lia dan Leon lekas kembali ke
kamar dan mengambil seragam itu. Tiga kemeja biru tua lengan panjang untuk
kelompok naga sakti dengan lambang naga di dada kiri.
“Leon,
mana surat tantangannya? Bajunya kotak-kotak gini kok katanya ada hidden message nya!” aku mulai gusar
karena tidak menemukan apapun di kemeja itu.
“Nah
itu dia! K-O-T-A-K! pasti suratnya ada di kotak.”
Aku
dan Lia hanya bisa melongo mendengar apa yang baru kami dengar dari mulut Leon.
Dia mengatakan hal itu dengan sangat percaya diri. Seolah-olah Ia tau pasti
jalan permainan game ini.
“Maksudmu,
kotak apa?” tanya Lia.
“Ta-da!”
Leon mengeluarkan sebuah kotak berukuran kecil, kemudian Ia membukanya
perlahan.
Kepada: Naga Sakti
Di sini mulai dingin
sekali. Tak ada kah kalian sudi menemuiku untuk membawakan kehangatan
mentari. Sedikit saja. Sekalian untuk mengusir gelap dan juga menakuti
cicit-cicit mengerikan itu. Aku sungguh tak mengerti. Bantu aku untuk
memahami ini. Tolong antarkan kehangatan mentari sebelum kalian pergi dari
tempat itu.
Salam beku dari Noboe Lse
|
“Ms.
Noboe Lse? Siapa dia? Bule?” tebak Lia asal.
“Entah.
Aku mendapatkan kotak ini saat kembali ke kamar tadi pagi. Selesai mandi, aku
membuka lemari karena baju-baju ku sudah ku masukkan ke dalam lemari kemarin…”
Jelas Leon. “Haha… dan di dalam lemari itu tergantung seragam biru kita. Lalu
aku melihat secarik kertas di kantongnya. Emmm…. Ini dia!” Leon pun
memperlihatkan kertas dengan jenis sama dengan gulungan tadi namun kali ini
dengan tulisan berbeda. Lebih tepatnya, ketikan yang bertuliskan : “MOTIF”
“Menarik…”
Lia berpose detektif saat mengatakan hal ini.
“Hemmm…
tapi tidak ada di kantongku.” Aku langsung menyadari sesuatu dan mengecek kantong
saku ku.
Tanpa
menghiraukan aku Leon melanjutkan ceritanya, “Aku langsung paham motif apa yang
dimaksud. Kupikir, ini sangat mudah. Aku perhatikan sekitar ku. And I found it! Kotak itu ada di pojok
atas lemari.”
“Lucu
ya… langsung ada di pojok atas lemari.” Ucap Lia pelan sambil melirik ke
arahku, lalu ke Leo. Leo mengangkat kedua bahunya menandakan Ia tak tahu menahu
tentang kenapa hal itu bisa terjadi.
Priiiiiiiiiiiit!!
Priiiiiiiiiiiiiiit! Lagi-lagi peluit berbunyi. Kami harus kumpul kembali di
plaza. Singkatnya saja, kami mendapat instruksi intuk mengambil tindakan hari
ini juga untuk surat tantangan itu. Aku bingung. Tindakan seperti apa? Oke,
nanti saja kami bertiga bicarakan bersama. Aku jadi tak sabar.
Sampai
hari beranjak sore. Aku, Leon, dan Lia hanya menghabiskan waktu di kamar untuk
browsing atau mencari petunjuk dari buku.
“Iya,
bener tuh kata Leon. Dan, kenapa surat tantangan itu bukan seperti tantangan,
malah seperti orang minta tolong.” Komentar Lia. “Dan apa itu? Antarkan
kehangatan mentari?”
“Surat
ini adalah jantung kita. Kunci akhir permainan ini.” sekilas aku melihat
tatapan tajam Leon mengatakan hal itu.
Lama-lama
aku bosan berada dikamar saja, lalu aku pergi keluar kamar dan berniat
jalan-jalan sebentar.
Hemh,
asik sih sekelompok sama mereka. Tapi… mereka terlalu serius dan memancing.
Dan, ada yang aneh dengan Leon. Dia suka bergerak sendiri dan tiba-tiba
mengetahui sesuatunya sendiri. Memang sih, aku tebak dia pengawas, tapi kenapa
juga aku harus curiga dan khawatir dengan pengawas. Kali ini, perasaanku
berbeda bukan karena tebakanku kalau dia pengawas, tapi sesuatu yang lain.
Firasatku mengatakan lain.
Tiba-tiba
dari arah pojok balkon aku melihat sesuatu bergerak. Jangan-jangan kelinci yang
tadi. Aku pun mulai bergidik ngeri. Dan sayangnya aku sudah belajar dari
pengalaman saat menonton film horor yang kalau Ia melihat sesuatu yang bergerak
akan langsung didekati perlahan. Yang kulakukan bukan seperti itu, tapi malah
menjaga jarak dengan sesuatu itu sambil bersembunyi dibalik tembok menunggu
reaksi benda itu. Perlahan… perlahan… dorrr! Muncul lah seekor ayam berbulu
kuning. Bentuk nya sih seperti jenis ayam potong. Tapi Ia jadi terlihat imut
karena bulu dan warnanya yang lembut. Otak ku pro kontra, ku dekati tidak
yaaa???.. dan, tidak!! Awasi saja dari jauh apakah ayam ini sejenis binatang
boneka seperti kelinci tadi pagi.
“Psssttt,
psstttt, ayam! Ayam!” aku pun iseng memanggil ayam itu.
Dan
apa yang terjadiiii??? Ayam itu berbalik kearahku. Wah, Gaswatttt ini. petokpetok.
“Namaku
bukan ayam, tapi Chicky.” Timpal ayam itu dengan suara cemprengnya.
HAAAAAHH!
Aku kaget. Aku melongo. Ayam… ayam itu barusan dia berkata apa? Dia..
ber..bi..cara? jantungku rasanya hampir copot. Kiamat sudah dekat sekali
sampai-sampai binatang pun bisa berbicara. Tanpa pikir panjang aku lari, lalu
kutengok ayam itu, whoaaaaa dia mengejarku! Aku pun mempercepat langkahku lalu
menengok lagi, ayam itu menghilang. Aku lega… Chicky? Aku sempat berpikir kalau
ayam itu baik. Tapi, entahlah..
Hugs Me, My Soulmates!!!!
Akhirnya
aku bisa bertemu dengan kedua soulmate-ku ini. Lili dan Ciul. Senang dan kangen
sekali rasanya padahal kami berpisah baru sehari.
“Ya
Allah Babooooon, curuuud! Kangen banget sama lorang!” Lili memberikan hug nya kepada aku dan Ciul.
“Eh,
tau nggak Bon, Rut, gua bingung loh di sini ini. Game-game apa lah, kok kayak
di dunia khayal.” Ciul membuka ceritanya. Ia menceritakan semuanya. Tentang
bagaimana Ia mendapatkan surat tantangan, bagaimana Ia berteman dengan tim nya,
pola pikir teman-teman tim nya, bagaimana posisinya, dan semua yang Ia rasakan
dan pikirkan mengenai perjalanan ini.
Begitu
pula Lili. Dengan sangat antusias Ia menceritakan semuanya sampai pada
pengamatannya seperti teman tim nya yang gemuk memiliki tulisan yang kecil dan
teman tim nya yang kurus mempunyai tulisan yang lebih besar. Hal itu sesuai
dengan hipotesisnya -> orang gemuk : tulisan kecil, orang kurus : tulisan
besar. Dan sebagainya sebagainya sebagainya.
Rasanya
waktu berlalu begitu cepat ketika kita bersama orang-orang yang kita inginkan.
Aku, Lili, dan Ciul berjalan-jalan sore di sekitar hotel-yang mirip sekali
dengan Monjali- Itu. Kami juga menikmati indahnya sunset sambil duduk diatas
pasir hitam bersih dekat kolam renang.
“Eh,
gua pingin pipissss,” Lili mulai beser lagi.
“Yodah
tinggal pipis.” Timpalku pura-pura tak perduli.
“Boooon….”
Lili merengek ke arahku. Aku jadi sangat malas sekali tapi aku lebih tidak
tahan dengan rengekannya.
“Arrrrggghhh….
Yok!” Aku berdiri dan berjalan dengan langkah berat. Tetapi, setelah Lili masuk
ke kamar mandi-letaknya tidak jauh dari Ciul duduk- aku langsung
meninggalkannya dan duduk kembali disamping Ciul sambil mengamati tenggelamnya
sang mentari. Hahaha Lilik..Lilik… kamar mandi dekat ajaaaaa…
“Cantik
banget yaaa bisa liat sunset begini. Tempat ini ni kadang aneh, kadang bikin
kangen, kadang bikin seru, kadang bikin serem.” Ungkap Ciul sambil tetap
menatap benjolan orange terang itu. Jujur saja aku sangat setuju dengan pernyataan
Ciul.
Membingungkan!
Esoknya
setelah melaksanakan game-game kecil, Leon mengajak aku dan Lia untuk memeriksa
kembali semak-semak yang kami kunjungi kemarin.
“Nggak
ah, saya trauma terperosok di sana. Dan lagi, gimana kalau ketemu Monster
Boneka? Hieey.” Jawab Lia.
“Kalau
saya nggak pa-pa. Asal kita sama-sama.” Jawabku.
“Oke.
dua banding satu. Berarti kita kesana sekarang.” Ucap Leon memberi perintah.
Lia hanya menganggukkan kepalanya, pasrah.
Telepon
kamar berdering. Leon mengangkatnya namun ternyata telepon itu untuk Lia dari
seseorang yang mengaku sebagai The Great
Teacher. Kami tidak dapat mendengar percakapan mereka namun apa yang Lia
ucapkan terdengar jelas.
“Saya
bareng teman tim, Op.. em, Pak. Iya. Oke oke. ha?! Kami ketemu kemarin pak.
Setuju pak, memang harus disingkirkan sekarang juga. Iya, ini membuat kami
makin semangat. Terimakasih pak. Yooo”
Jujur
saja, aku sangat penasaran tentang apa percakapan Lia dan The Great Teacher nya itu. Lama-lama aku mulai dibuat bingung
tentang apa ini semua. Kami pun akhirnya pergi ke semak-semak yang kami temui
kemarin. Tidak ada yang berubah. Kami mencoba mencaritahu apa yang ada dibalik
semak-semak ini. Namun yang kami temukan hanyalah hutan yang punya kepemilikan
dan tak terurus.
Aku
jadi teringat kembali isi surat tantangan itu. ‘Disini dingin sekali’. ‘bantu
aku untuk memahami ini’. ‘Noboe Lse’. Aku berpikir dan terus berpikir. Noboe
Lse… siapa dia? Apa kebangsaannya? Bagaimana membaca namanya? Apa mungkin
memang bule seperti kata Lia? Inggris kah? Noboelse… Noboelse…
AH! I got it! Noboelse harusnya adalah Nobody Else! Yang membuat surat
tantangan ini adalah seseorang yg berada di dalam badan tim. Leon? Lia?
Aaaaargh.. tapi apa maksudnya? Meminta tolong untuk memahami apa? Apa mungkin…
memahami tentang apa kegiatan ini semua? sepertinya…
“Arniiiiiii!!!”
terdengar suara sumringah menyapaku dari kejauhan lalu mendekat. Aaaaaaaa Uni
Fini! Aku kangen sekaliiii…
“Uniiiiiii!
Ngapain Lo bawa senter?” aku menyambut kedatangan Uni Fini dengan suka cita.
“Lo
nggak tau dari tadi listrik disini mati-idup mulu. Mana suram lagi disini.” Lantas
Fini langsung membisikkanku sesuatu. Aku mengerti ini dimaksudkan agar kedua
orang didekatku tidak bisa medengar ucapan Fini.
Fini
mengatakan, “Salah satu temen yang bareng lo mungkin bukan temen. Hati-hati
nik, jangan terkecoh. Gue tau sesuatu, nanti jam 8 gw email lo. Makanya cas
laptop dari sekarang.”
Aku
kaget, tak percaya. It’s so ridiculous
and strange. Aku bingung dimana aku
harus berposisi. Namun aku harus menyamarkan sikap bingung ku.
Fini
melihat ke Leon dan Lia, lalu berbisik lagi namun kali ini aku yakin kedua
orang didekatku bisa mendengarnya. “Eh niiiik~ itu rekan lo yaaaaa? Asik
bangeeet. Ehehehehe” ujar Uni Fini cengengesan menatap Leon. Membuat Lia dan
aku tertawa kecil.
“Oooh
kenalin ini Lia dan Leon. Teman, ini Fini.” Dan mereka pun berkenalan. Kami pun
berbasa-basi-ria dan akhirnya berpisah. Aku tak sabar apa yang akan Uni Fini
katakan secara tertutup.
Hari
semakin mendung dan listrikpun padam. Baterai laptop full dan modem oke. Saat
kami berjalan menuju koridor kami memergoki segerombolan geng monster boneka.
Donald bebek, kelinci, Sonic si landak, Keropi si katak, Kerbau, anak ayam,
Monkey, dan… dan… Winnie the pooh? OMG! Ada apa dengan boneka-boneka unyu itu.
“Haish!
Kedengarannya mereka punya rencana buat ngerecokin kegiatan kita. Dasar boneka
biang kerok!” Lia berbisik namun akhirnya nadanya meninggi juga sampai
terdengar oleh wak geng monster boneka, Winnie the pooh.
“Whuoy!
Rencana masih kami buat, tapi kalian malah nguping!” Winnie the Pooh marah-marah
dengan suara lembutnya, emmm… agak mirip suaranya Vino G Bastian kalo lagi
pura-pura jadi cewek. “Serbu! Uuuu lala!”
“Whats!
Mereka mau mengejar kita dengan pentungan boneka itu? Ahahaha ada yang lebih
serius nggak sih?” ucapku melengos kearah para monster boneka. Kami pun tidak
menanggapi serbuan geng monster boneka dengan serius. Namun Leon membuktikan
sesuatu yang real bahwa pentungan
yang mereka pegang adalah pentungan dari besi. Akibatnya Leon menderita luka di
sekujur kakinya. Sebelum pukulan-pukulan itu makin parah, kami telah berhasil
mencapai kamar dan menutup rapat pintu kamar.
Di
dalam kamar kami terus saja mendiskusikan apa yang telah terjadi hari ini.
Berbagai argumen pun keluar dari pikiran kami. Mulai dari pikiran bahwa
boneka-boneka itu digerakkan oleh semacam sihir, ini dari Leon. Atau Lia yang
berpikir kalau boneka-boneka itu adalah robot. Kalau aku sendiri berasumsi
kalau boneka-boneka itu adalah emmmm yaaa boneka. Krik krik krik.
Lia
tidur lebih cepat dan aku melirik ke arah Leon. Tampaknya Ia sudah tertidur
juga. aku memutuskan untuk mulai membaca email dari Uni Fini. Lamaaa sekali
membuka acer windows Xp yang kuberi nama ALIF ini. Tiba-tiba Leon terbangun.
Ehm, bukan terbangun tapi Ia memang belum tidur.
“Ka,
Riska!” panggilnya setengah berbisik agar tidak membangunkan Lia. Aku terkejut
seperempat mati, lalu menoleh pelan kearahnya.
“Ya?”
jawabku singkat dengan nada kembali bertanya.
“Temen
kamu yang tadi….” Wah agaknya dia naksir Uni Fini ini cikiciew. Kemudian
dilanjutkannya, “ Terpesona sama saya ya?” eeee gubrak kecemplung di empang.
Pede sekali bujang ini (Eh, bujangan nggak ya dia?). melihat ekspresiku Ia
langsung melanjutkan, “Hehehe kepedean ya saya? Eh, by the way, Dia ngirim email apa ke kamu?” Ia bertanya sambil
memberikan selembar kertas bertuliskan:
Percaya atau nggak, saya adalah pengawas. Kamu tahu kenapa kamu,
sekolahmu, dan sekolah lain berada disini? Itu karena ada sebuah sponsor besar
yang menyelenggarakannya tanpa biaya, alih-alih membuat sebuah game untuk game
show di sebuah stasiun televisi swasta. Kalau kamu pernah baca artikel tentang
iluminati mungkin sponsor ini adalah salah satu pendukungnya. Anggotanya sedikit
disini tapi penyebarannya cukup cerdik dan licin. Sebuah organisasi satanisme
yang berusaha mempengaruhi kita dengan sihir sigil disekitar kita. Jangan heran
kalau sepulang dari sini beberapa dari kita menjadi agak…. Gila. Ini info yang
sangat rahasia sekali tapi saya beritahu kamu kalau salah satu diantara kita
adalah kaki tangan penyelenggara game ini. Aku menebak orang itu adalah Lia.
The Great Teacher nya itu pasti adalah kepalanya.
Hah!
Apa-apaan ini? Sejenak aku mengontrol emosiku. Sejak awal memang rasa saling
percaya itu sulit dibangun karena ada sesuatu dalam kegiatan ini. Apa dia hanya
menebak Lia dan membeberkannya padaku? Aaaaarghh aku bingung. Satanisme?
Iluminati? Kukira itu tidak ada di Indonesia tapi ternyata mulai berkembang
juga. Cerdas dan terkonsep. Memanfaatkan pelajar.
Aku
membuka emailku dan kurasa ekspresiku berubah jadi ‘sedikit’ tegang, “Ohhh…
tentang bisnis kosmetik kami aja.” Aku langsung terdiam. Yap! Aku telah
berbohong tentang email apa yang Uni kirim. Sejak kapan aku dan Uni doyan membicarakan kosmetik. Fufufu.
“Terus… kamu yakin sama ini?” aku menunjukkan kertas itu padanya.
“Of Course. Kita jangan jadi terlalu naif
untuk menyadari itu.” Leon mengatakan ‘Of
course’ tapi tadi dia hanya menebak. Arrrgh semua ini membingungkan. “Oke.
Saya tidur duluan ya…” lagi-lagi Leon tidur di kamar kami. Apa dia tidak pernah
berpikir dua kali atau lebih untuk tidur di kamar cewek meskipun berbeda tempat?
What kind of boy is he?
Listrik
masih mati dan aku berulang-ulang membaca email dari Fini. Unbelieveable. Aku melihat ke sekitar dan merasa merinding. Sofa di
ruang depan hanya ada Leon dengan selimut tebalnya karena Ia tak tahan AC. Di bed ada Lia yang tertidur pulasnya.
Selain itu hanya ada snack berserakan juga barang-barang kami yang belum sempat
dibereskan. Satu lampu emergency
menemaniku. Tiba-tiba terdengar suara langkah dari luar kamar. Perlahan-lahan
berjalan, lalu berhenti tepat di depan kamar kami. Sekarang aku benar-benar
merasa ngeri. Aku menggigit bantal. Asin. Lalu aku menahan nafas sejenak. OMG!
Aku bahkan lupa mengunci pintu. Pintu dibuka dan seberkas sinar dari senter
memenuhi sebagian ruangan. Suara yang khas keluar dari sang pemegang senter.
“Lho
kok ada anak laki-laki disini?!” Pak Virgo mengagetkanku dengan nada agak marah
namun Leon tidak terbangun atau pura-pura tidak bangun.
Hufffft
Alhamdulillah aku malah lega kalau itu adalah pak Virgo guru PAI kami. Tapi aku
juga kelabakan menjawab pertanyaan pak Virgo ini.
“Emmm
iya pak dia lagi sakit di kakinya jadi kami yang ngurusin, eh trus dia
ketiduran di sana Pak.” Jelasku sekenanya. “Ada apa pak?”
“Waduhhh
kalian ini harusnya tetap dijaga etikanya. Masa ada anak laki-laki di kamar
perempuan. Trus pintunya nggak dikunci lagi. Bapak dapat tugas untuk memeriksa
kamar kalian. Guru-guru yang lain juga itu di luar.” Pak Virgo menjelaskan di
depan pintu sambil memeriksa kamar dengan senternya. Aku hanya menganggukkan
kepala. “Yasudah bapak pergi dulu. Ingat ya, hati-hati dan jaga perilaku!”
“Oo
iya pak. Siap! Terimakasih ya Pak…” Ucapku sambil berjalan ke arah pintu untuk
segera mengunci pintu.
Mulai Mencari Jawaban
Sepanjang
game berjalan aku terus-terusan memperhatikan Lia dan Leon. Kata-kata Leon
sangat mengusikku, ditambah lagi setelah aku membaca email dari Fini. Aku mulai
berpikir lagi, siapakah The Great Teacher
nya itu? “ketemu kemarin”? “harus disingkirkan”? hemmm…
Yap!
Hari ini adalah hari terakhir diselenggarakannya game. Kami sudah sadar sejak
ada surat tantangan bahwa ada dua game dalam kegiatan ini. Game-game kecil itu
hanya pengalihan belaka. Seperti apa yang dikatakan Leon.
Dunia
terasa berputar lebih lebih lebih lebiiiiiiiihhh cepat sepuluh kali lipat.
Kejadian demi kejadian terputar kembali di memori otakku. Sore ini kami harus packing untuk kembali. Tak seperti
biasa, bukannya merasa sedih selesai dari liburan, aku malah senang sekali bisa
lekas pergi dari sini. Aku perhatikan kembali bangunan ini lekat-lekat. Aura
asri jawa indah yang aneh melekat disetiap dinding, pilar, sudut bangunan
tumpeng ini.
“Riska!”
Lia memanggilku dengan suara berbisik dan aku mendekat padanya. “Lihat siapa
yang lagi ada percakapan tertutup disana…” sambil bersembunyi Lia menunjuk ke arah
sebuah ruangan kosong.
Ha!
Aku terkejut ternyata benar yang dikatakan Lutfi bahwa salah satu anggota ku
adalah anak buah organisasi sekaligus sponsor kegiatan ini. Umm, sebentar, biar
kujelaskan kenapa tiba-tiba ada Lutfi disini.
Fini mengirim
email dan bercerita kalau sekolah sudah tahu sejak awal tentang adanya maksud
dibalik kegiatan yang terlihat menyenangkan ini, makanya mereka meminta kami yang
telah di kualifikasi secara emosional, spiritual, dan intelektual untuk dapat
turun. Tidak ada unsur kriminalitas disini namun tentu saja satanisme bertolak
belakang dengan ajaran agama apapun. Tidak ada alasan untuk mengaitkan hal ini
dengan pelanggaran hukum. Kecuali terjadi sesuatu yang tidak terduga. Lutfi
mengatakan itu semua ke Fini dan Fini mem-broadcast
keseluruh teman-teman sekolah. Lutfi juga mengatakan bahwa bu Hisa yang
muncul di plaza saat awal pertemuan sebenarnya adalah panitia penyelenggara.
Dan sekarang aku dan Lia melihat Leon sedang diam-diam ngobrol dengan bu Hisa. Pasti ada suatu hubungan sehingga mereka
harus berbicara diam-diam seperti itu.
“Ha?
Apa Leon adalah pengikut iluminati? Tapi katanya dia pengawas dan….” Ups, aku
keceplosan.
Lia
memandangku dengan tatapan penasaran, menghakimi, dan terkejut. “Kamu sudah
tau?” tanyanya kemudian.
“Ummm…
yaaa…”
“Dari
Leon?” Lia bertanya dan aku mengangguk. “Huh, gue pastikan dia dapat 9
pelanggaran sekaligus!” Lia membuka buku note kuning kecil dan mencatat
sesuatu.
“Kenapa?
Kok kamu bisa kasih poin pelanggaran kayak gitu? Jangan-jangan…” Ahh aku sadar
sekarang, pengawas sebenarnya adalah Lia dan Leon telah berbohong mengatakan
bahwa Ia pengawas.
“Ups,
gue nggak bilang apa-apa ya. Dan yang membuat surat tantangan itu memang adalah
gue. Memperingati salah satu diantara kalian untuk berhati-hati. Maksudnya
adalah agar kita bisa segera selesaikan kegiatan ini lalu pergi.” Jelas Lia.
“Cicit-cicit tikus yang mengganggu dan boneka monster. Terus terang gue baru
tau ada boneka kayak gitu hiieyy.”
“Trus,
siapa itu The Great Teacher?” tanyaku
penasaran.
“Guru
besar di universitas kami… sekaligus adalah Opa(kakek) gue.”
Wow,
amazing.
Berhenti
terpesona, aku terus memperhatikan bu Hisa dan Leon. Bu Hisa memberikan sesuatu
kepada Leon. Mataku berakomodasi lebih kuat untuk dapat melihat benda apakah
itu.
“The all seeing eye.” Aku tersentak
mendengar ucapan Lia. Benda berbentuk segitiga itu… ya, memang benar apa yang
dikatakan Lia.
“Buat
apa?”
“Hanya
simbol. Tapi menjelaskan semuanya.” Jawaban yang singkat tapi aku mengerti.
Kami
membalikkan badan dan terkejut sekali melihat segerombolan geng monster boneka lagi.
“Ingat
Riska, yang kamu katakan benar, boneka ini cuma boneka. Jadi…”
Aku
melanjutkan perkataan Lia, “Jadi kita keroyok balik saja mereka!” aku sadar
bahwa waktu itu Leon hanya berpura-pura tersakiti. Cuih! Sayang banget cowok
ganteng macam Dia ternyata bukan sebenar-benarnya teman. Akhirnya kami berhasil
melucuti senjata dan menguliti boneka-boneka itu. Ternyata keberanian bisa
mengalahkan hal yang tadinya kita takuti ya. Boneka-boneka monster itu
meraung-raung dengan suara sesuai dengan jenis mereka. Sekarang mereka memang
benar-benar boneka. Setelah dikuliti ternyata sesuai dengan tebakan Lia
sebelumnya bahwa boneka-boneka ini di dalamnya adalah robot. Tujuannya untuk
mengacaukan suasana kegiatan. Wah Liaaaa… pikiran mahasiswa memang agak lebih
diatas dari siswa SMA. Namun aku tidak pernah menyangka pada keadaan
selanjutnya.
Grudukkkk
drudukkk blak duaarr duuuurk!!!! Tiba-tiba bumi bergoyang. Bukan goyangan
dangdut atau jaipong, tapi memang benar-benar bergerak saling menjauhi.
“Gempaaaaaa!!!
Gempaaaaaa!!! Gempaaaaa!!!!” semua orang berteriak dan berhamburan mencari
tempat yang aman.
“Whoaaa!”
Aku dan Lia berlari mengintari tangga spiral sambil menjinjing si ALIF. Kami
mulai merasa mual dengan pergerakan lempeng bumi yang tidak biasa ini. Aku
menengok ke belakang dan melihat Leon juga sedang berlari.
Leon
meneriakkan sesuatu, “Riskaaaa! Jauhi Liaaaaa!!!” apa ini? Leon berusaha melindungiku
dari pengawas sebenarnya. Never!
jangan harap aku mengikuti perintahnya meskipun Ia adalah ketua tim. Oow,
sekarang tidak lagi, aku harus mengikuti langkah kakiku sendiri.
“Leooooon!
You’ve lost!” Lia malah balik
meneriakkan kata-kata itu ke Leon. Aku melirik ke arah Leon. Ia tampak terkejut
dan merasa terhina. Lalu Ia berlari menuruni tangga lebih cepat di tengah gempa
untuk mendapatkan kami.
Ini
dia. Sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Leon berusaha memecuti kami dengan
kain selendang berwarna hitam. Aku dan Lia terus-terusan menuruni tangga dengan
nafas tersengal-sengal. Tentu saja kami tidak akan semudah itu berhenti berlari
karena Lia adalah jago lari dan aku ikut diseret-seret olehnya.
Gempa
ini tidak besar namun berlangsung cukup lama. Tangga spiral ini juga terasa
sangat panjang sekali untuk menuruninya.
Ternyata
Fini dan Lutfi berlari dibelakang Leon. “Arniiiiii!!!” panggil Emak(panggilan
akrab kami kepada Lutfi).
“Arni!
Ini ganteng-ganteng nyebelin banget tau nik! iiieh, masa kepedean banget dia
mention-mention gua terus di twitter! Sori bentar lagi gua nggak jomblo kok!(probably, She means that she has another guy.)” Fini malah curcol diantara
kepanikan ini. Leon yang merasa tersinggung langsung berhenti dan siap-siap
melakukan serangan kearah belakang.
“No Way!” Emak Lutfi langsung menangkis
dan melindungi Fini, lalu langsung membekap Leon dengan kain yang dipegang
Leon. “Bener kan nik kata gua.”
‘Iya
maaakkk.. lo emang good nggak Cuma
fisika tapi juga hal-hal kayak gini.’ Batinku.
Pintu
depan semakin dekat dan aku sudah bisa melihat wajah-wajah yang aku
rindukaaaaan sekali belakangan ini. Wajah teman sekelas dan teman kelas lain.
Rasanya aku ingin memeluk mereka semua secara bersamaan. Aku dan teman-teman
yang lain akhirnya berhasil keluar dari gedung itu. Lelah sekali. Aku
bertanya-tanya dimana Leon dan anggotanya yang lain? Apa yang sebenarnya mereka
rencanakan? Bagaimana keadaan teman-temanku yang lain? Kenapa bisa jadi seperti
ini? Apa yang selanjutnya akan terjadi? Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku.
Nafas
ini…. tersengal tapi aku sangat bersyukur. Terimakasih ya Allah. Alhamdulillah.
Lambat
laun aku merasa nyaman. Samar-samar terdengar suara yang meneriakkan namaku dan
nama teman-teman yang baru saja keluar dari gedung.
“Baboooonn!!!
Babooooon!”
“Arniiiiiii!”
“Riskaaaa!”
Banguuuun.
Banguuuuuun. Ah, apakah aku pingsan? Memang, perlahan yang kuliahat hanyalah
hitam… lalu putih.
Banguuuuun!
“Karena
kusuka dirimu, inginkan dirimu! Oow…” Sebuah soundtrack lagu dari RAN akhirnya membangunkanku.
Aku tersadar dan ternyata semua itu hanya mimpi. Mimpi tentang sebuah tempat
yang aku kenali tapi tidak ku ketahui, hidden
place. Fin~
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------Cerita ini nyata berdasarkan mimpi yang pernah terjadi
dalam tidurku di tahun 2011. Mimpi yang begitu melekat dan fantasi sehingga aku
mengembangkan ceritanya dan menulisnya.------
TTD
Ms. Kriting-arny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar