Rabu, 11 Mei 2016

Tiga Sahabat


Oleh: Riska Arni Amantha (2004)

Di sebuah hutan, tinggalah dua sahabat karib. Mereka tak pernah bertengkar meskipun memiliki perbedaan yang sangat menonjol. Mereka pun selalu saling tolong-menolong dan saling mengingatkan jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan. Mereka adalah Evan si Gajah dan Momo si Tikus Tanah. Evan akan siap sedia menghalangi setiap binatang lain yang akan mencelakai Momo, bahkan pernah menjadi rumah darurat keluarga Momo ketika hujan badai datang. Sedangkan Momo akan dengan senang hati menggigit, mencakar, dan mengerjai para pemburu yang akan menangkap Evan dengan segenap kekuatannya. Begitulah persahabatan mereka, perbedaan yang saling melengkapi setiap kekurangan.
Suatu hari, hal yang tidak diinginkan datang lagi. Sekelompok pemburu yang ingin memburu gajah datang dengan mobil-mobil besar yang bising. Momo segera memberi tahu kabar buruk ini kepada Evan. Sudah terlalu sering perburuan illegal dan illegal logging di hutan tersebut. Tak sedikit binatang yang berhasil ditangkap dan entah bagaimana nasibnya.
Sayangnya, Evan tak berhasil bersembunyi atau melarikan diri. Namun Momo segera memberitahukan teman-temannya yang lain akan hal ini. Dengan lincah, pemburu 1 menyorotkan senapannya pada Evan si gajah.
“Waaaah… sasaran empuk nih!”
Tiba-tiba segerombolan pemburu itu berteriak kesakitan.
“Awwww!! Wadawww!! Arrrgh.”
Untungnya Momo masih sempat memberitahukan mereka. Ular, kalajengking, kecoa, semut-semut, dan juga burung pelatuk mulai bekerja sama untuk menyerang sahabat hutan mereka dengan menyerang para pemburu. Binatang-binatang ini sudah lelah karena selalu ditindas manusia. Mereka melawan para pemburu itu agar mereka jera. Akhirnya, para pemburu itu tak kuasa melihat binatang yang mengerikan sekaligus imut itu.
“Lariiiiii!!!” komando sang ketua pemburu. Kemudian pemburu yang lain lari tunggang-langgang meninggalkan hutan itu dengan mobil-mobil besi mereka.
Untuk sementara para binatang lega namun tak menutup kemungkinan bahwa segerombolan pemburu tadi akan datang lagi, bahkan mungkin dengan peralatan yang lebih canggih lagi agar dapat menaklukan binatang hutan itu.
Esok paginya, Evan si gajah pergi ke sungai untuk mencari minum sekaligus mencari teman kecilnya, Momo si tikus tanah yang tinggal di dekat sungai. Evan berlari dengan semangat sampai-sampai binatang lain yang hidup di sana gempar dan terjadi gempa kecil.
“Momooooo! Momoooo!” teriaknya.
Setelah sampai, Evan terlihat kebingungan.
“Kurasa rumahnya di sekitar sini… hemm.” Gumam Evan sambil terus mencari rumah Momo. Tanah di sekitarnya terlihat basah.
“Evan!” panggil suara yang agak serak dari belakang Evan. Evan kaget mendengar panggilan itu lalu menoleh. Rupanya Sally si berang-berang.
“Fyuh, rupanya kamu Sally…” tiba-tiba wajah Evan berubah murung
“Kenapa kamu celingak-celinguk disini Evan?” tanya Sally sedikit kawatir.
“Aku mencari sahabatku, Momo si tikus tanah. Aku rasa rumahnya di sekitar sini, tapi…”
“Apaaa?! Di sekitar sini?” suara Sally balik mengagetkan Evan. “Kamu tahu, semalam air sungai naik setinggi dua kaki. Sepertinya, rumah Momo telah rusak sehingga tak terlihat lagi sekarang.” Jelas Sally dengan suara yang agak layu.
Mata Evan mulai berkaca-kaca. Ia tak tahu apa yang terjadi pada sahabat karibnya itu. Ia sangat cemas. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Evan hanya berharap sahabat dan keluarganya selamat.
Evan berjalan di tengah hutan dengan lesu. Isaknya begitu memilukan. Ia tertunduk merapati nasib sahabatnya, Momo yang entah bagaimana kabarnya sekarang.
“Momo… dimana kamu sekarang.” Lirih Evan.
“Hei! Kenapa kamu?” tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari atas pohon. Evan melihat keatas. Ternyata Jake si burung pelatuk.
Evan hanya diam tak bisa berkata apa-apa.
“Ayolaaah.. masalah apa yang menimpamu? Ceritakan saja.” Jake berusaha untuk membantu Evan kemudian terbang ke sisi kanan Evan.
“Aku kehilangan jejak sahabatku, Momo si tikus tanah. Aku tak tahu Ia ada dimana sekarang. Hanyut bersama arus atau selamat. Aku tak tahu… hiks.” Tutur Evan.
“Sudahlah… jangan menangis seperti itu. Aku turut cemas dengan musibah yang dialaminya.” Ujar Jake. “Bagaimana kalau kita cari saja dia ada di mana sekarang!”
“Ha?”
“Apa itu tandanya iya? Baiklah kalau begitu! Ayo!”
Kemudian mereka pergi ke dekat sungai. Terus mencari tanda-tanda apa saja yang di tinggalkan Momo. Mungkin ada petunjuk. Namun seharian penuh itu, pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Hari itu mereka cukup lelah. Akhirnya ketika tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan, mereka memutuskan untuk melanjutkan pencarian besok.
Esoknya, Evan dan Jake terus mencari di sekeliling hutan, namun tetap saja tidak membuahkan hasil.
Hari berikutnya, Evan dan Jake mencari makan bersama. Tak terasa mereka sudah seperti sahabat sekarang.
“Hei, kenapa kamu mau-mau saja membantuku?” tanya Evan.
“Bukan tanpa alasan aku membantumu. Aku kasihan padamu.” Jake memulai ceritanya. “Itu karena sebenarnya aku juga telur yang hilang dulu. Aku hilang dari sarang orangtuaku. Namun aku masih tetap beruntung karena kemudian Elisa, Angsa putih itu menemukan telur itu dan merawatnya hingga menetas dan hiduplah aku.”
Evan terharu mendengar kisah Jake. Ia merasa beruntung sekali karena Ia masih dapat hidup dengan keluarga kandungnya lengkap tanpa kekurangan apapun. Ia merasa beruntung sekali.
“Jake… Aku minta maaf.”
“Oh, tak apa Evan. Meskipun aku belum bertemu orangtuaku, aku tetap bisa hidup bahagia kok.”
“Tapi, tidak mungkin kalau kamu tidak memikirkan orangtua kandungmu bukan?”
“Tentang itu… tentu saja aku rindu pada orangtua kandungku. Aku bahkan belum pernah melihat mereka.”
“Bagaimana kalau kita cari orangtuamu!” ajak Evan. Ia ingin menghibur sahabat barunya itu dan membantunya juga.
“Apa mungkin… “
“Tentu saja!”
“Baiklah. Tapi itu misi kedua kita ya. Sekarang, kita tuntaskan dulu misi pertama kita, menemukan Momo.”
Evan dan Jake melanjutkan makan mereka di tempat yang berbeda. Namun ada sesuatu yang terjadi pada Jake. Ia tersentak kaget karena ada yang melemparinya dengan tanah dari belakang. Setelah ditengok, seekor tikus tanah tengah menggali lubang dan tak sengaja melemparkan tenahnya kearah Jake.
“Hei! Sedang apa kamu disitu?!” tanya Jake.
“Menggali. Memberi tanda pada sahabatku.” Jawab si tikus tanah singkat.
“Memberi tanda untuk apa?”
“Agar dia tahu bahwa aku ada di sekitar sini.”
Jake kaget sekaligus gembira karena sepertinya tikus tanah yang ada di hadapannya adalah Momo, sahabat Evan yang dicarinya sejak dua hari lalu. Kemudian Jake memberanikan diri untuk bertanya.
“Apa kamu Momo?”
Si tikus tanah menoleh dengan heran kenapa burung pelatuk itu mengenal nama Momo, yaitu dirinya. Padahal Ia tak pernah kenal dengan burung pelatuk itu.
“Siapa kamu? Kenapa kamu tahu tentang Momo?”
“Hei, kenalkan, aku Jake. Aku membantu Evan mencari tikus tanah bernama Momo. Dan kurasa itu kamu.”
“Evan…” Mata Momo berbinar-binar. “Ya, benar. Akulah Momo yang kamu cari!” Momo membalas jabatan tangan Jake.
“Ayo kita hampiri Evan!”
“Ayo!”
Dengan cekatan Jake mengantarkan Momo ke tempat Evan minum. Kedua sahabat karib itu akhirnya bertemu kembali. Kemudian Momo mengajak Evan dan Jake kerumah baru Momo dan keluarganya. Momo menceritakan pada Evan bahwa sebenarnya saat awan mendung dan insting mereka sebagai hewan merasakan akan terjadi sesuatu, keluarga Momo memutuskan pindah ke tempat yang lebih jauh dari sungai tetapi dekat dengan air. Evan sangat senang sekali mengetahui sahabatnya itu selamat.

Akhirnya, Evan dan Momo dapat bersama-sama kembali. Namun, tak hanya itu, Jake sang burung pelatuk pun menjadi bagian dari persahabatan itu.


fn: ini cerita jadul abis. gw buat pas SD kelas 6 (12 thn yang lalu) dan diedit sekitar 4 tahun yang lalu.