Oleh:
Riska Arni Amantha (2004)
Di sebuah hutan,
tinggalah dua sahabat karib. Mereka tak pernah bertengkar meskipun memiliki
perbedaan yang sangat menonjol. Mereka pun selalu saling tolong-menolong dan
saling mengingatkan jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan. Mereka
adalah Evan si Gajah dan Momo si Tikus Tanah. Evan akan siap sedia menghalangi
setiap binatang lain yang akan mencelakai Momo, bahkan pernah menjadi rumah
darurat keluarga Momo ketika hujan badai datang. Sedangkan Momo akan dengan
senang hati menggigit, mencakar, dan mengerjai para pemburu yang akan menangkap
Evan dengan segenap kekuatannya. Begitulah persahabatan mereka, perbedaan yang
saling melengkapi setiap kekurangan.
Suatu hari, hal yang
tidak diinginkan datang lagi. Sekelompok pemburu yang ingin memburu gajah datang
dengan mobil-mobil besar yang bising. Momo segera memberi tahu kabar buruk ini
kepada Evan. Sudah terlalu sering perburuan illegal dan illegal logging di
hutan tersebut. Tak sedikit binatang yang berhasil ditangkap dan entah
bagaimana nasibnya.
Sayangnya, Evan tak
berhasil bersembunyi atau melarikan diri. Namun Momo segera memberitahukan
teman-temannya yang lain akan hal ini. Dengan lincah, pemburu 1 menyorotkan
senapannya pada Evan si gajah.
“Waaaah… sasaran empuk
nih!”
Tiba-tiba segerombolan
pemburu itu berteriak kesakitan.
“Awwww!! Wadawww!!
Arrrgh.”
Untungnya Momo masih
sempat memberitahukan mereka. Ular, kalajengking, kecoa, semut-semut, dan juga
burung pelatuk mulai bekerja sama untuk menyerang sahabat hutan mereka dengan
menyerang para pemburu. Binatang-binatang ini sudah lelah karena selalu
ditindas manusia. Mereka melawan para pemburu itu agar mereka jera. Akhirnya,
para pemburu itu tak kuasa melihat binatang yang mengerikan sekaligus imut itu.
“Lariiiiii!!!” komando
sang ketua pemburu. Kemudian pemburu yang lain lari tunggang-langgang
meninggalkan hutan itu dengan mobil-mobil besi mereka.
Untuk sementara para
binatang lega namun tak menutup kemungkinan bahwa segerombolan pemburu tadi
akan datang lagi, bahkan mungkin dengan peralatan yang lebih canggih lagi agar
dapat menaklukan binatang hutan itu.
Esok paginya, Evan si
gajah pergi ke sungai untuk mencari minum sekaligus mencari teman kecilnya,
Momo si tikus tanah yang tinggal di dekat sungai. Evan berlari dengan semangat
sampai-sampai binatang lain yang hidup di sana gempar dan terjadi gempa kecil.
“Momooooo! Momoooo!”
teriaknya.
Setelah sampai, Evan
terlihat kebingungan.
“Kurasa rumahnya di
sekitar sini… hemm.” Gumam Evan sambil terus mencari rumah Momo. Tanah di
sekitarnya terlihat basah.
“Evan!” panggil suara
yang agak serak dari belakang Evan. Evan kaget mendengar panggilan itu lalu
menoleh. Rupanya Sally si berang-berang.
“Fyuh, rupanya kamu
Sally…” tiba-tiba wajah Evan berubah murung
“Kenapa kamu
celingak-celinguk disini Evan?” tanya Sally sedikit kawatir.
“Aku mencari sahabatku,
Momo si tikus tanah. Aku rasa rumahnya di sekitar sini, tapi…”
“Apaaa?! Di sekitar
sini?” suara Sally balik mengagetkan Evan. “Kamu tahu, semalam air sungai naik
setinggi dua kaki. Sepertinya, rumah Momo telah rusak sehingga tak terlihat
lagi sekarang.” Jelas Sally dengan suara yang agak layu.
Mata Evan mulai
berkaca-kaca. Ia tak tahu apa yang terjadi pada sahabat karibnya itu. Ia sangat
cemas. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Evan hanya berharap
sahabat dan keluarganya selamat.
Evan berjalan di tengah
hutan dengan lesu. Isaknya begitu memilukan. Ia tertunduk merapati nasib
sahabatnya, Momo yang entah bagaimana kabarnya sekarang.
“Momo… dimana kamu
sekarang.” Lirih Evan.
“Hei! Kenapa kamu?”
tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari atas pohon. Evan melihat keatas.
Ternyata Jake si burung pelatuk.
Evan hanya diam tak bisa
berkata apa-apa.
“Ayolaaah.. masalah apa
yang menimpamu? Ceritakan saja.” Jake berusaha untuk membantu Evan kemudian
terbang ke sisi kanan Evan.
“Aku kehilangan jejak
sahabatku, Momo si tikus tanah. Aku tak tahu Ia ada dimana sekarang. Hanyut
bersama arus atau selamat. Aku tak tahu… hiks.” Tutur Evan.
“Sudahlah… jangan
menangis seperti itu. Aku turut cemas dengan musibah yang dialaminya.” Ujar
Jake. “Bagaimana kalau kita cari saja dia ada di mana sekarang!”
“Ha?”
“Apa itu tandanya iya?
Baiklah kalau begitu! Ayo!”
Kemudian mereka pergi ke
dekat sungai. Terus mencari tanda-tanda apa saja yang di tinggalkan Momo.
Mungkin ada petunjuk. Namun seharian penuh itu, pencarian mereka tidak
membuahkan hasil. Hari itu mereka cukup lelah. Akhirnya ketika tidak ada lagi
yang dapat mereka lakukan, mereka memutuskan untuk melanjutkan pencarian besok.
Esoknya, Evan dan Jake
terus mencari di sekeliling hutan, namun tetap saja tidak membuahkan hasil.
Hari berikutnya, Evan
dan Jake mencari makan bersama. Tak terasa mereka sudah seperti sahabat
sekarang.
“Hei, kenapa kamu
mau-mau saja membantuku?” tanya Evan.
“Bukan tanpa alasan aku
membantumu. Aku kasihan padamu.” Jake memulai ceritanya. “Itu karena sebenarnya
aku juga telur yang hilang dulu. Aku hilang dari sarang orangtuaku. Namun aku
masih tetap beruntung karena kemudian Elisa, Angsa putih itu menemukan telur
itu dan merawatnya hingga menetas dan hiduplah aku.”
Evan terharu mendengar
kisah Jake. Ia merasa beruntung sekali karena Ia masih dapat hidup dengan
keluarga kandungnya lengkap tanpa kekurangan apapun. Ia merasa beruntung sekali.
“Jake… Aku minta maaf.”
“Oh, tak apa Evan.
Meskipun aku belum bertemu orangtuaku, aku tetap bisa hidup bahagia kok.”
“Tapi, tidak mungkin
kalau kamu tidak memikirkan orangtua kandungmu bukan?”
“Tentang itu… tentu saja
aku rindu pada orangtua kandungku. Aku bahkan belum pernah melihat mereka.”
“Bagaimana kalau kita
cari orangtuamu!” ajak Evan. Ia ingin menghibur sahabat barunya itu dan
membantunya juga.
“Apa mungkin… “
“Tentu saja!”
“Baiklah. Tapi itu misi
kedua kita ya. Sekarang, kita tuntaskan dulu misi pertama kita, menemukan
Momo.”
Evan dan Jake
melanjutkan makan mereka di tempat yang berbeda. Namun ada sesuatu yang terjadi
pada Jake. Ia tersentak kaget karena ada yang melemparinya dengan tanah dari
belakang. Setelah ditengok, seekor tikus tanah tengah menggali lubang dan tak
sengaja melemparkan tenahnya kearah Jake.
“Hei! Sedang apa kamu
disitu?!” tanya Jake.
“Menggali. Memberi tanda
pada sahabatku.” Jawab si tikus tanah singkat.
“Memberi tanda untuk
apa?”
“Agar dia tahu bahwa aku
ada di sekitar sini.”
Jake kaget sekaligus
gembira karena sepertinya tikus tanah yang ada di hadapannya adalah Momo,
sahabat Evan yang dicarinya sejak dua hari lalu. Kemudian Jake memberanikan
diri untuk bertanya.
“Apa kamu Momo?”
Si tikus tanah menoleh
dengan heran kenapa burung pelatuk itu mengenal nama Momo, yaitu dirinya.
Padahal Ia tak pernah kenal dengan burung pelatuk itu.
“Siapa kamu? Kenapa kamu
tahu tentang Momo?”
“Hei, kenalkan, aku
Jake. Aku membantu Evan mencari tikus tanah bernama Momo. Dan kurasa itu kamu.”
“Evan…” Mata Momo
berbinar-binar. “Ya, benar. Akulah Momo yang kamu cari!” Momo membalas jabatan
tangan Jake.
“Ayo kita hampiri Evan!”
“Ayo!”
Dengan cekatan Jake
mengantarkan Momo ke tempat Evan minum. Kedua sahabat karib itu akhirnya
bertemu kembali. Kemudian Momo mengajak Evan dan Jake kerumah baru Momo dan
keluarganya. Momo menceritakan pada Evan bahwa sebenarnya saat awan mendung dan
insting mereka sebagai hewan merasakan akan terjadi sesuatu, keluarga Momo
memutuskan pindah ke tempat yang lebih jauh dari sungai tetapi dekat dengan
air. Evan sangat senang sekali mengetahui sahabatnya itu selamat.
Akhirnya, Evan dan Momo
dapat bersama-sama kembali. Namun, tak hanya itu, Jake sang burung pelatuk pun
menjadi bagian dari persahabatan itu.
fn: ini cerita jadul abis. gw buat pas SD kelas 6 (12 thn yang lalu) dan diedit sekitar 4 tahun yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar