Selasa, 07 Januari 2014

Landasan Teori Ruptur Perineum


LANDASAN TEORI

ROBEKAN PERINEUM



1.    Pengertian Ruptur Perineum

Pengertian ruptur sesuai dengan kamus kedokteran adalah robeknya atau koyaknya jaringan (Dorland,1998). Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak di bawah dasar panggul. Batas superior yaitu dasar panggul yang terdiri dari musculus levator ani dan musculus coccygeus. Batas lateral tulang dan ligamentum yang membentuk pintu bawah panggul, yaitu depan ke belakang angulus pubicus, ramus ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligamentum sacrotuberosum, dan oscoccyges. Batas inferior yaitu kulit dan vagina (Oxorn, 2003).



2.    Insiden

Sebanyak 85% dari perempuan yang melahirkan pervaginam akan mengalami trauma pada perineum(1) dan 3-12% akan mengenai otot sfingter ani. Robekan pada otot sfingter ani akan menyebabkan gangguan pada otot-otot dasar panggul  di kemudian hari.



3.    Faktor Risiko Perlukaan Jalan Lahir

·         Kepala janin terlalu cepat lahir

  • Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
  • Perineum kaku / banyak jaringan parut
  • Persalinan distosia bahu
  • Partus pervaginam dengan tindakan



4.    Anatomi Perineum

Perineum yang kita kenal sehari-hari adalah badan perineum yaitu daerah diantara vagina dan anus yang terbentuk dari gabungan otot-otot membrana perineal yaitu otot bulbo kavernosus, otot tranversus perinealis  superfisialis dan profundus, disertai otot pubo rektalis yang merupakan bagian dari otot levator ani dan otot sfingter ani eksterna. Daerah ini mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteri pudenda interna dan mendapatkan persarafan sensoris dan motoris dari nervus pudendus.

Pada wanita normal panjang badan perineum ini sekitar 3-5 cm, dan akan berkurang pada kondisi prolaps organ pelvik yang lanjut atau pada keadaan terjadinya robekan perineum pasca persalinan yang tidak dikelola dengan baik.

Pada kondisi terjadinya trauma perineum yang besar yang menyebabkan robeknya atau disrupsi otot-otot yang membentuk perineum terutama levator ani dan sfingter ani maka akan terjadi gangguan defekasi berupa inkontinensia fekal yang derajat beratnya bervariasi. Selain itu dapat pula terjadi gangguan seksual, keputihan dan infeksi saluran kemih yang berulang.



5.    Diagnosis

Pada setiap persalinan terutama persalinan yang berrisiko terjadi robekan perineum yang berat seperti persalinan dengan bantuan alat (ekstraksi vacuum dan  forceps), oksiput posterior, distosia bahu, bayi besar, dan episiotomi mediana,  kita harus waspada akan terjadinya robekan perineum derajat III-IV. Oleh karena itu pasca persalinan harus dinilai benar robekan  perineum yang terjadi. Tindakan colok dubur dan pemaparan yang baik sangat membantu untuk mendiagnosis derajat robekan perineum yang terjadi.



6.    Klasifikasi Derajat Robekan Perineum


> Robekan tingkat I, yang mengenai mukosa vagina dan kulit perineu
> Robekan tingkat II, yang lebih dalam mencapai otot-otot perineum tetapi tidak melibatkan otot-otot  sfingter ani

> Robekan tingkat III, robekan sudah melibatkan otot sfingter ani, dibagi menjadi 3 sub grup, yaitu:

-  III a        :robekan mengenai < 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna

-  III b        :robekan mengenai > 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna

-  III c        :robekan sampai mengenai otot sfingter ani interna

> Robekan tingkat IV, robekan sampai ke mukosa anus

Button hole tear : Sfingter intak namun mukosa anus terkena



7.    Perbaikan Robekan Tingkat I dan II

Umumnya robekan tingkat I dapat sembuh sendiri, tidak perlu di jahit.
-Kaji ulang prinsip dasar keperawatan

-Berikan dukungan emosional

-Pastikan tidak ada alergi terhadap lignokain atau obat-obatan sejenis

-Periksa vagina, perineum dan serviks
-Jika robekan panjang dan dalam, periksa apakan robekan itu tingkat II atau IV dengan cara masukkan jari yang bersarung tangan ke anus, identifikasi sfingter, rasakan tonus dari sfingter.

-Ganti sarung tangan

-Jika sfingter kena, lihat reparasi robekan tingkat III atau IV

-Jika sfingter utuh, teruskan reparasi

- Antisepsis di daerah robekan

-Masukkan jarum pada ujung atau pojok laserasi dan dorong masuk sepanjang luka mengikuti garis tempat jarum jahitnya akan masuk dan keluar

-Aspirasikan, kemudian suntikkan sekitar 10ml lignokain 0,5% dibawah mukosa vagina, dibawah kulit perineum, dan pada otot-otot perineum. Catatan: aspirasi untuk meyakinkan suntikan lignokain tidak masuk ke pembuluh darah. Jika ada darah saat aspirasi, pindahkan jarum ke tempat lain. Kejang dan kematian dapat terjadi jika lignokain diberikan lewat pembuluh darah (intravena).

-Tunggu 2 menit agar anastesi efektif


>>Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan catgut kromik 2-0 mulai dari sekitar 1 cm diatas puncak luka di dalam vagina sampai batas vagina.

>> Jahitan otot perineum dilanjutkan pada daerah otot perineum sampai ujung luka pada perineum secara jelujur dengan catgut kromik 2-0

-Lihat ke dalam luka untuk mengetahui letak ototnya

-Penting sekali untuk menjahit otot ke otot, agar tidak ada rongga diantaranya.

-Jahitan kulit, cari lapisan subkutikuler persis dibawah lapisan kulit

-Lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali kearah batas vagina. Akhiri dengan simpul mati pada bagian dalam vagina.



8.    Perbaikan Robekan Tingkat III dan IV

Jika robekan tingkat III tidak diperbaiki dengan baik pasien dapat menderita gangguan defekasi dan flatus. Jika robekan rektum tidak diperbaiki, dapat terjadi infeksi dan fistula rektovaginal.

- Kaji ulang prinsip dasar keperawatan

- Lakukan blok pudendal atau ketamin

-Minta asisten menahan fundus dan melakukan masase uterus

-Periksa vagina, perineum, serviks, dan rektum

-Cek apakah sfingter ani robek

-Ganti sarung tangan
-Asepsis/antisepsis pada daerah robekan

-Pastikan tidak ada alergi lignokain- Lakukan anastesi area penjahitan dengan lignokain

-Tunggu 2 menit agar anastesi efektif

-Tautkan mukosa rektumdengan benag kromik 3-0 atau 4-0 secara interuptus dengan 0,5 cm antara jahitan

-Jahitlah otot-otot dengan rapi lapis demi lapis dengan jahitan satu-satu

-Jahitan sfingter ani dengan jepit otot sfingter dengan klem allis atau pinset

-Tautkan ujung otot sfingter ani dengan 2-3 jahitan benang kromik 2-0 angka 8 secara interuptus- Larutan antiseptik pada daerah robekan

-Reparasi mukosa vagina, otot perineum, dan kulit.



9.    Perawatan Pascatindakan

ΓΌ Apabila terjadi robekan tingkat IV, berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal yaitu amfisillin 500 mg peroral dan metronidazol 500 mg peroral.

ΓΌ Observasi tanda-tanda infeksi

ΓΌ Jangan lakukan pemeriksaan rektal atau enema selama 2 minggu

ΓΌ Berikan pelembut feces selama seminggu peroral.



10.    Penanganan Kasus Terlantar

Pada kasus terlantar (robekan lebih dari 12 jam) kemungkinan infeksi sulit dihindari.

ΓΌ Pada robekan perineum tingkat I dan II, robekan dibiarkan terbuka

    

ΓΌ Pada robekan perineum tingkat III dan IV, lakukan jahitan situasi dengan 2-3 jahitan. Penjahitan otot, mukosa vagina, dan kulit perineum dilakukan sekitar 6 hari kemudian.



11.    Penanganan Komplikasi

ΓΌ Jika terdapat hematoma, darah dikeluarkan. Jika tidak ada tanda infeksi dan perdarahn sudah berhenti, lakukan penjahitan.

ΓΌ Jika terdapat infeksi, buka dan drain luka dengan cara luka infeksi ringan tidak perlu antibiotika, jika infeksi berat tetapi tidak sampai pada jaringan dalam maka diberikan amfisillin 4 x 500mg peroral selama 5 hari dan metronidazol 3 x 400mg peroral selama 5 hari.

ΓΌ Jika infeksi mencapai otot dan terdapat nekrosis, berikan antibiotika secara kombinasi sampai nekrosis sudah dikeluarkan dan pasien sudah bebas demam selama 48 jam: penicillin G 2 juta unit setiap 6 jam IV, ditambah gentamisin 5 mg/KgBB setiap 24 jam IV, ditambah metronidazol 500 mg setiap 8 jam IV. Sesudah pasien bebas demam 48 jam berikan ampisilin 4 x 500mg peroral selama 5 hari ditambah metronidazol 3 x 400mg peroral selama 5 hari.

ΓΌ Fistula rektovaginal perlu dilakukan bedah rekontruksi 3 bulan atau lebih pascapersalinan.






DAFTAR PUSTAKA



-. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

http://pogijaya.or.id/blog/2013/02/21/penatalaksanaan-ruptur-perineum-derajat-3-4/ oleh dr Ekarini Aryasatiani, SpOg. Diakses tanggal 7 November 2013 pukul 00.14 WIB

Manuaba, Ida Bagus Gde, dkk. 2012. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.




Landasan Teori Preeklamsi Berat



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh tenaga medis baik pusat maupun daerah. (Sarwono Prawirohardjo: 2010)

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001 adalah:
1.      Hipertensi Kronik
Hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali di diagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
2.      Preeklamsia
Hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria.
3.      Eklamsia
Preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang atau koma.
4.      Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia
Hipertensi kronik disertai dengan tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi kronik dengan proteinuria.
5.      Hipertensi gestasional (Trancient hypertension) adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tetapi tanpa proteinuria. (Sarwono Prawirohardjo: 2010)

2.3 Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadi hipertensi dalam kehamilan yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut:
1.      Primigravida, primipaternitas
2.      Hiperplasentosis, misalnya: molahidatidosa, kehamilan multipel, diabetes melitus, hidrops fetalis, dan bayi besar.
3.      Umur yang ekstrim: >35 tahun. Angka kejadian hipertensi kronik pada umur ini tinggi.
4.      Riwayat keluarga pernah preeklamsi-eklamsi
5.      Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6.      Obesitas
(Sarwono Prawirohardjo: 2010)

2.4 Preeklamsia Berat
1.      Definisi
Preeklampsi berat (PEB) adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi (tekanan darah) 160/110 mmHg atau lebih yang disertai proteinuria dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi.

2.      Etiologi
Penyebab pasti dari Preeklampsi berat (PEB) masih belum diketahui, namun beberapa penelitian menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat menunjang terjadinya preeklampsia berat. Faktor-faktor tersebut antara lain, gizi buruk, kegemukan dan gangguan aliran darah ke rahim.

Adapun faktor resiko dari Preeklampsia Berat :
1. Primigravida atau multipara dengan usia lebih tua
2. Riwayat keluarga dengan preeclampsia atau eklampsia
3. Pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya
4. Ibu hamil dengan usia < 18 tahun atau lebih > 35 tahun
5. Wanita dengan gangguan fungsi organ (diabetes, penyakit ginjal, migraine, dan tekanan darah tinggi)
6. Kehamilan kembar
     7.  Kehamilan mola

3.      Patofisiologi
Patofisiologi preeklampsi berat setidaknya berkaitan dengan perubahan fisiologis kehamilan.
Adaptasi fisiologis normal pada kehamilan meliputi:
-        Peningkatan volume plasma darah
-        Vasodilatasi
-        Penurunan resistensi vascular sistemik (systemic vascular resistance)
-        Peningkatan curah jantung
-        Penurunan tekanan osmotik koloid
Preeklampsi berat adalah suatu keadaan  hiperdinamik dimana ditemukan hipertensi dan proteinuria akibat hiperfungsi ginjal. Pada preeklampsia berat, volume plasma yang beredar menurun, sehinga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Menyebabkan perfusi organ maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janin-uteroplasenta. Vasospasme siklik menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah dengan sendirinya akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Kenaikan berat badan dan edema yang belum diketahui sebabnya, ada yang mengatakan disebabkan oleh retensi air dan garam akibatnya penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial. Proteinuria disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Mochtar,1993:220). Hubungan antara system imun dengan preeklampsia berat menunjukkan bahwa faktor-faktor imunologi berpengaruh dalam perkembangan preeklampsia. Keberadaan protein asing, plasenta,atau janin bisa membangkitkan respon imunologis lanjut. (Easterling dan Benedetti  1989)

4.      Komplikasi
Tergantung pada derajat preeklampsi yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi antara lain:
a.       Pada Ibu
1.      Eklapmsia
2.      Solusio plasenta
3.      Pendarahan subkapsula hepar
4.      Kelainan pembekuan darah ( DIC )
5.     Sindrom HELPP ( hemolisis, elevated, liver,enzymes dan low platelet count )
6.      Ablasio retina
7.      Gagal jantung hingga syok dan kematian.
b.      Pada Janin
1.      Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus-PJT
2.      Prematur   
3.      Asfiksia neonatorum
4.      Kematian dalam uterus (IUFD)
5.      Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal

2.5 Perbedaan dan Penanganan Preeklamsi Ringan dan Preeklamsi Berat
a.      Preeklamsi Ringan
ΓΌ  Tekanan darah sistole 140mmHg dan 160mmHg, diastole 90mmHg dan 100mmHg.
ΓΌ  Proteinuria > 0,3 gr/L dalam 24 jam secara kuantitatif atau +2 (++) secara kualitatif.
ΓΌ  Terdapat edema pada pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah atau tangan.
ΓΌ  Kenaikan berat badan > 500gr/minggu atau > 13kg selama kehamilan.

Penanganan Preeklamsia Ringan yang dapat dilakukan dengan dua cara tergantung gejala yang timbul yakni:
1.      Penatalaksanaan rawat jalan pasien preeklamsia ringan dengan cara: ibu dianjurkan banyak istirahat (berbaring tidur/miring); diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam; pemberian sedativa ringan: tablet phenobarbital 3x30 mg atau diazepam 3x2 mg peroral selama 7 hari (atas instruksi dokter); roborantia (pemberian multivitamin); melakukan kunjungan ulang setiap 1 minggu; pemeriksaan laboratorium hemoglobin, hematokrit, trombosit, urin lengkap, asam urat darah, fungsi hati, dan fungsi ginjal; jangan diberi obat antihipertensi dan diuretik.
2.      Penataksanaan rawat inap pasien preeklamsia ringan berdasarkan kriteria: setelag 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan adanya perbaikan dari gejala-gejala preeklamsia; kenaikan berat badan ibu 1 kg atau lebih perminggu selama 2 kali berturut-turut (2 minggu); timbul salah satu atau lebih gejala preeklamsia berat.
Bila setelah 1 minggu perawatan diatas tidak ada perbaikan maka preeklamsia ringan dianggap sebagai preeklamsia berat. Jika dalam perawatan di rumah sakit sudah ada perbaikan sebelum 1 minggu dan kehamilan masih preterm maka penderita tetap dirawat selama 2 hari lagi baru dipulangkan. Perawatan lalu disesuaikan dengan perawatan rawat jalan.

Perawatan obstetri pasien preeklamsia ringan:
1.      Kehamilan preterm (<37 minggu): bila desakan darah mencapai normotensif selama perawatan, persalinan ditunggu sampai aterm; bila desakan darah turun tetapi belum mencapai normotensif selama perawatan maka kehamilannya dapat diakhiri pada umur kehamilan 37 minggu atau lebih.
2.      Kehamilan aterm (37 minggu atau lebih): persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan persalinan pada taksiran tanggal persalinan.
3.      Cara persalinan: persalinan dapat dilakukan secara spontan bila perlu memperpendek kala II

b.      Preeklamsi Berat
ΓΌ  Tekanan darah > 160/110 mmHg
ΓΌ  Proteinuria > 3gr/L dalam 24 jam.
ΓΌ  Oliguria < 500ml/24 jam
ΓΌ  Trombosit < 100.000/mm3
ΓΌ  Nyeri epigastrium (kuadran kanan atas abdomen), skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat, perdarahan retina, oedem pulmonum.
ΓΌ  Penyulit lain juga bisa terjadi seperti kerusakan organ tubuh seperti gagal jantung, gagal ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan pembekuan darah, sindroma HELLP, bahkan dapat terjadi kematian pada janin, ibu, atau keduanya bila preeklamsia tak segera diatasi dengan baik dan benar.
Penanganan:
1.      Perawatan Aktif
Yaitu kehamilan segera diterminasi ditambah pengobatan medicinal. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan pemeriksaan fetal assasment yakni pemeriksaan Nonstress Test (NST) dan ultrasonografi (USG), dengan indikasi (salah satu atau lebih):
a.       Usia kehamilan ibu 37 minggu atau lebih, adanya gejala impending eklamsia, kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan meditasi terjadi kenaikan desakan darah atau setelah 24 jam perawatan medicinal ada gejala-gejala status quo (tidak ada perbaikan).
b.      Hasil fetal assasment jelek (NST dan USG): adanya tanda Intrauterin Growth Retardation (IUGR).
c.       Hasil laboratorium: adanya HELP sindrome (Hemolisis dan peningkatan fungsi hepar, trombositopenia)
2.      Pengobatan medisinal pasien preeklamsia berat (dilakukan di rumah sakit dan atas instruksi dokter) yaitu: segera masuk rumah sakit; tirah baring miring ke satu sisi; tanda vital diperiksa setiap 30 menit; refleks patella setiap jam; infus dextrose 5% setiap 1 liter diselingi dengan infus RL 500cc (60-125cc/jam); berikan antasida; diet cukup protein; rendah karbohidrat; lemak dan garam; pemberian obat anti kejang MgSO4; diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung kongesif atau edema anasarka; diberikan furosemid injeksi 40mg/IM.
3.      Antihipertensi diberikan bila tekanan sistolis lebih 180mmHg, diastolis lebih dari 110mmHg atau MAP lebih dari 125mmHg. Sasaran pengobatan adalah tekanan diastolis kurang 105mmHg (bukan kurang 90mmHg) karena akan menurunkan perfusi plasenta, dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada umumnya.
4.      Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat diberikan obat-obatan antihipertensi paranteral (tetesan kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang biasa dipakai 5 ampul dalam 500cc cairan infus atau press disesuaikan dengan tekanan darah.
5.      Bila tidak tersedia antihipertensi paranteral dapat diberikan tablet antihipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam, maksimal 4-5 kali. Bersama dengan awal pemberian sublingual maka obat yang sama mulai diberikan secara oral. (Syakib Bakri, 1997)
6.      Pengobatan jantung jika ada indikasinya yakni ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid D.
7.      Lain-lain: konsul bagian penyakit dalam/jantung, mata; obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rectal lebih dari 38,5ΒΊC dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylomidon 2cc IM; antibiotik diberikan atas indikasi. Diberikan ampicillin 1 gr/6 jam/IV/hari; antinyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus. Dapat diberikan petidin HCL 50-75mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum janin lahir.

2.6 Gejala Subjektif PEB
Gejala-gejala subjektif yang dapat dirasakan pada preeklampsia berat adalah sebagai berikut:
1.  Nyeri kepala: jarang ditemukan pada kasus ringan tetapi akan sering terjadi pada kasus-kasus yang berat. Nyeri kepala sering terjadi pada daerah frontal dan oksipital serta tidak sembuh dengan pemberian analgetik biasa.
2. Nyeri Epigastrium: merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklampsia berat. Keluhan ini disebabkan karena tekanan pada kapsula hepar akibat edema atau perdarahan.
3. Gangguan penglihatan: Keluhan penglihatan tertentu dapat disebabkan oleh spasme arterial,iskemia, dan edema pada retina dan pada kasus-kasus yang langka disebabkan oleh ablasio retina.
4. Sakit kepala yang berat.
5. Perubahan pada refleks.
6. Penurunan produksi kencing atau bahkan tidak kencing sama sekali.
7. Ada darah pada air kencing.
8. Pusing.
9. Mual dan muntah yang berlebihan.

2.7 Preeklamsia Berat Pada Persalinan
Penanganan Ibu dengan preeklamsia berat pada saat persalinan dilakukan tindakan penderita dirawat inap antara lain:
1.      Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi; berikan diet rendah garam, lemak, dan tinggi protein; berikan suntikan MgSO4 8 gr IM, 4 gr bokong kanan dan 4 gr bokong kiri; suntikkan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap jam; berikan obat anti hipertensi: katapres 3x1/2 tablet atau 2x1/2 tablet sehari; diuretika tidak diberikan kecuali terdapat edema umum, edema paru, dan kegagalan jantung. Untuk itu dapat disuntikkan 1 ampul IV lasix; segera setelah pemberian MgSO4 kedua, dilakukan induksi partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin 10 satuan dalam infus tetes (dilakukan oleh bidan atas instruksi dokter)
2.      Kala II harus dipersingkat dalam 24 jam dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu dilarang mengedan (dilakukan oleh dokter SpOG); jangan berikan metergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan yang disebabkan atonia uteri; pemberian MgSO4 kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam postpartum.
3.      Bila ada indikasi obstetrik dilakukan sectio cesarea, perhatikan bahwa: tidak ada koagulopati; anestesi yang aman atau terpilih adalah anastesi umum jangan lakukan anastesi lokal sedang anastesi spinal berhubungan dengan risiko (dilakukan oleh dokter SpOG).
4.      Jika anastesi umum tidak tersedia atau janin mati, aterm terlalu kecil, lakukan persalinan pervaginam. Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 2-5 IU dalam 500ml dextrose 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin (atas intruksi dokter boleh diberikan oleh bidan).

2.8 Pengobatan Obstetrik
1.      Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu:
a.       Induksi persalinan: tetesan oksitosin dengan syarat nilai bishop 5 atau lebih dan dengan fetal heart mnitoring.
b.      Sectio cesarea (dilakukan oleh dokter SpOG) bila fetal assasment jelek. Syarat tetesan oksitosin tidak terpenuhi (nilai bishop kurang dari 5) atau adanya kontraindikasi tetesan oksitosin; 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif. Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan sectio cesarea.

2.      Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu:
a.       Kala I fase laten: 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan sectio cesarea; fase aktif: lakukan amniotomi saja, bila 6 jam setelah amniotommi belum terjadi pembukaan lengkap maka dilakukan sectio cesarea (bila perlu lakukan tetesan oksitosin).
b.      Kala II pada persalinan pervaginam maka kala II diselesaikan dengan partus buatan. Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian pengobatan medisinal. Pada kehamilan 32 minggu atau kurang; bila keadaan memungkinkan, terminasi ditunda 2x24 jam untuk memberikan kortikosteroid.
3.      Perawatan preeklamsi berat pada postpartum
pemberian anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau kejang terakhir; diteruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolic masih >110mmHg; pantau jumlah urin.
4.      Cara pemberian MgSO4
a.       Dosis awal sekitar 4 gr MgSO4 IV (20% dalam 20 cc) selama 1 gr/menit kemasan 20% dalam 25cc larutan MgSO4 (3-5 menit). Diikuti segera 4 gr bokong kiri dan 4 gr bokong kanan (40% dalam 10cc) dengan jarum no.21 panjang 3,7 cm. untuk mengurangi nyeri dapat diberikamm 1 cc xylokain 2% yang tidak mengandung adrenalin pada suntikan IM.
b.      Dosis ulangan diberikan 4 gr IM 40% setelah pemberian dosis awal lalu dosis ulangan diberikan 4 gr IM setiap 6 jam dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.
c.       Syarat-syarat pemberian MgSO4: tersedia antidotum MgSO4 yaitu calsium glukonas 10%, 1 gram (10% dalam cc) diberikan intravena dalam 3 menit; refleks patela positif kuat; frekuensi pernapasan lebih 16 x/menit; prosuksi urin >100cc dalam 4 jam sebelum (0,5 cc/kgBB/jam)
d.      MgSO4 dihentikan bila ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks fisiologi menurun, fungsi hati terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-otot pernafasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Refleks fisiologi menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan dan lebih 15 mEq/liter terjadi kematian jantung.
e.       Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat: hentikan pemberian magnesium sulfat; berikan calsium glukonas 10% 1 gram (10% dalam 10cc) secara IV dalam waktu 3 menit; berikan oksigen; lakukan pernafasan buatan.
f.       Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 4 jam pasca persalinan sudah terjadi perbaikan (normotensif).
5.      Diagnosis
Diagnosa dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadi preeklamsia sukar dicegah, namun preeklamsia berat dan eklampsia biasanya dapat dihindarkan dengan mengenal secara dini penyakit itu dan dengan penanganan secara sempurna.
Pada umumnya diagnosis preeklamsia didasarkan atas adanya 2 dari trias utama yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria. Hal ini memang berguna untuk kepentingan statistik, tetapi dapat merugikan penderita karena tiap tanda dapat merupakan bahaya kendatipun ditemukan tersendiri.
Diagnosis diferensial antara preeklamsia dengan hipertensi menahun atau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan kesukaran. Pada hipertensi menahun adanya tekanan darah yang meninggi sebelum hamil, pada kehamilan muda, atau 6 bulan postpartum akan sangat berguna untuk membuat diagnosis.
Pemeriksaan funduskopi juga berguna karena perdarahan dan eksudat jarang ditemukan pada preeklamsia, kelainan tersebut biasanya menunjukan hipertensi menahun. Untuk diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya proteinuria banyak menolong, proteinuria pada preeklamsia jarang timbul sebelum trimester 3, sedang pada penyakit ginjal timbul lebih dahulu. Test fungsi ginjal juga banyak berguna, pada umumnya fungsi ginjal normal pada preeklamsia ringan.
6.      Deteksi dini
Karena preeklamsia tidak dapat dicegah, yang terpenting adalah bagaimana penyakit ini dapat dideteksi sedini mungkin. Deteksi bagaimana penyakit ini dapat dideteksi sedini mungkin. Deteksi dini didapatkan dari pemeriksaan TD secara rutin pada saat pemeriksaan tekanan darah secara rutin pada saat pemeriksaan kehamilan (antenatal care). Karena itu pemeriksaan kehamilan rutin mutlak dilakukan agar preeklamsia dapat terdeteksi cepatt untuk meminimalisir kemungkinan komplikasi yang lebih fatal. Pemeriksaan TD harus dilakukan dengan seksama, dan diusahakan dilakukan oleh orang yang sama misalnya bidan atau dokter.



DAFTAR PUSTAKA

-. 1984. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Offset.
http://hanieputrirachmaan.blogspot.com/2011/01/konsep-dasar-pre-eklamsi-berat-peb.html diakses ada tanggal 3 Desember 2013 pukul 22.00 WIB
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT BPSP.
Yeyeh Rukiyah, Ai., Lia Yulianti. 2010. Asuhan kebidanan 4 Patologi Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media.