BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi
dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu
dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di
Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan masih cukup
tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh
perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem
rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh
semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi
dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh tenaga medis baik pusat maupun
daerah. (Sarwono Prawirohardjo: 2010)
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi
yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the National High Blood Pressure Education Program Working
Group on High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001 adalah:
1.
Hipertensi Kronik
Hipertensi
yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali
di diagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12
minggu pascapersalinan.
2.
Preeklamsia
Hipertensi
yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria.
3.
Eklamsia
Preeklamsia
yang disertai dengan kejang-kejang atau koma.
4.
Hipertensi kronik dengan superimposed
preeklamsia
Hipertensi
kronik disertai dengan tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi kronik dengan
proteinuria.
5.
Hipertensi gestasional (Trancient hypertension) adalah hipertensi yang timbul pada
kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tetapi tanpa
proteinuria. (Sarwono Prawirohardjo: 2010)
2.3 Faktor Risiko
Terdapat
banyak faktor risiko untuk terjadi hipertensi dalam kehamilan yang dapat
dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut:
1.
Primigravida, primipaternitas
2.
Hiperplasentosis, misalnya: molahidatidosa,
kehamilan multipel, diabetes melitus, hidrops fetalis, dan bayi besar.
3.
Umur yang ekstrim: >35 tahun. Angka kejadian
hipertensi kronik pada umur ini tinggi.
4.
Riwayat keluarga pernah preeklamsi-eklamsi
5.
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang
sudah ada sebelum hamil
6.
Obesitas
(Sarwono
Prawirohardjo: 2010)
2.4 Preeklamsia Berat
1.
Definisi
Preeklampsi berat (PEB)
adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi
(tekanan darah) 160/110 mmHg atau lebih yang disertai proteinuria dan/atau
edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih (akhir triwulan kedua sampai triwulan
ketiga) atau bisa lebih awal terjadi.
2.
Etiologi
Penyebab pasti dari
Preeklampsi berat (PEB) masih belum diketahui,
namun beberapa penelitian menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat menunjang
terjadinya preeklampsia berat. Faktor-faktor
tersebut antara lain, gizi buruk, kegemukan dan gangguan aliran darah ke rahim.
Adapun faktor resiko dari Preeklampsia
Berat :
1. Primigravida atau
multipara dengan usia lebih tua
2. Riwayat keluarga dengan
preeclampsia atau eklampsia
3. Pre-eklampsia pada
kehamilan sebelumnya
4. Ibu hamil dengan usia
< 18 tahun atau lebih > 35 tahun
5. Wanita dengan
gangguan fungsi organ (diabetes, penyakit ginjal, migraine, dan tekanan darah
tinggi)
6. Kehamilan kembar
7. Kehamilan
mola
3. Patofisiologi
Patofisiologi preeklampsi
berat setidaknya berkaitan dengan perubahan fisiologis kehamilan.
Adaptasi fisiologis normal
pada kehamilan meliputi:
-
Peningkatan volume plasma darah
-
Vasodilatasi
-
Penurunan resistensi vascular sistemik (systemic vascular resistance)
-
Peningkatan curah jantung
-
Penurunan tekanan osmotik koloid
Preeklampsi berat adalah
suatu keadaan hiperdinamik dimana ditemukan hipertensi dan proteinuria
akibat hiperfungsi ginjal. Pada preeklampsia berat, volume plasma yang beredar
menurun, sehinga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi
garam dan air. Menyebabkan perfusi organ maternal menurun, termasuk perfusi ke
unit janin-uteroplasenta. Vasospasme siklik menurunkan perfusi organ dengan
menghancurkan sel-sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun.
Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami
spasme, maka tekanan darah dengan sendirinya akan naik, sebagai usaha untuk
mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Kenaikan
berat badan dan edema yang belum diketahui sebabnya, ada yang mengatakan
disebabkan oleh retensi air dan garam akibatnya penimbunan air
yang berlebihan dalam ruangan interstisial. Proteinuria disebabkan oleh spasme
arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Mochtar,1993:220). Hubungan antara system
imun dengan preeklampsia berat menunjukkan bahwa faktor-faktor imunologi
berpengaruh dalam perkembangan preeklampsia. Keberadaan protein asing,
plasenta,atau janin bisa membangkitkan respon imunologis lanjut. (Easterling
dan Benedetti 1989)
4. Komplikasi
Tergantung pada derajat preeklampsi yang dialami. Namun yang termasuk
komplikasi antara lain:
a. Pada Ibu
1.
Eklapmsia
2.
Solusio plasenta
3.
Pendarahan subkapsula hepar
4.
Kelainan pembekuan darah ( DIC )
5. Sindrom HELPP ( hemolisis, elevated, liver,enzymes dan low
platelet count )
6.
Ablasio retina
7.
Gagal jantung hingga syok dan kematian.
b. Pada Janin
1.
Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus-PJT
2. Prematur
3.
Asfiksia neonatorum
4.
Kematian dalam uterus (IUFD)
5.
Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal
2.5 Perbedaan dan Penanganan Preeklamsi
Ringan dan Preeklamsi Berat
a. Preeklamsi Ringan
ü
Tekanan darah sistole ≥ 140mmHg dan ≤160mmHg,
diastole ≥90mmHg
dan ≤100mmHg.
ü
Proteinuria > 0,3 gr/L dalam 24 jam secara
kuantitatif atau +2 (++) secara kualitatif.
ü
Terdapat edema pada pretibia, dinding abdomen,
lumbosakral, wajah atau tangan.
ü
Kenaikan berat badan > 500gr/minggu atau >
13kg selama kehamilan.
Penanganan Preeklamsia Ringan yang dapat
dilakukan dengan dua cara tergantung gejala yang timbul yakni:
1.
Penatalaksanaan rawat jalan pasien preeklamsia
ringan dengan cara: ibu dianjurkan banyak istirahat (berbaring tidur/miring);
diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam; pemberian sedativa
ringan: tablet phenobarbital 3x30 mg atau diazepam 3x2 mg peroral selama 7 hari
(atas instruksi dokter); roborantia (pemberian multivitamin); melakukan
kunjungan ulang setiap 1 minggu; pemeriksaan laboratorium hemoglobin,
hematokrit, trombosit, urin lengkap, asam urat darah, fungsi hati, dan fungsi
ginjal; jangan diberi obat antihipertensi dan diuretik.
2.
Penataksanaan rawat inap pasien preeklamsia
ringan berdasarkan kriteria: setelag 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak
menunjukkan adanya perbaikan dari gejala-gejala preeklamsia; kenaikan berat
badan ibu 1 kg atau lebih perminggu selama 2 kali berturut-turut (2 minggu);
timbul salah satu atau lebih gejala preeklamsia berat.
Bila setelah 1 minggu perawatan
diatas tidak ada perbaikan maka preeklamsia ringan dianggap sebagai preeklamsia
berat. Jika dalam perawatan di rumah sakit sudah ada perbaikan sebelum 1 minggu
dan kehamilan masih preterm maka penderita tetap dirawat selama 2 hari lagi
baru dipulangkan. Perawatan lalu disesuaikan dengan perawatan rawat jalan.
Perawatan obstetri pasien preeklamsia
ringan:
1.
Kehamilan preterm (<37 minggu): bila desakan
darah mencapai normotensif selama perawatan, persalinan ditunggu sampai aterm;
bila desakan darah turun tetapi belum mencapai normotensif selama perawatan
maka kehamilannya dapat diakhiri pada umur kehamilan 37 minggu atau lebih.
2.
Kehamilan aterm (37 minggu atau lebih):
persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk
melakukan persalinan pada taksiran tanggal persalinan.
3.
Cara persalinan: persalinan dapat dilakukan
secara spontan bila perlu memperpendek kala II
b. Preeklamsi Berat
ü
Tekanan darah > 160/110 mmHg
ü
Proteinuria > 3gr/L dalam 24 jam.
ü
Oliguria < 500ml/24 jam
ü
Trombosit < 100.000/mm3
ü
Nyeri epigastrium (kuadran kanan atas abdomen),
skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat, perdarahan
retina, oedem pulmonum.
ü
Penyulit lain juga bisa terjadi seperti
kerusakan organ tubuh seperti gagal jantung, gagal ginjal, gangguan fungsi
hati, gangguan pembekuan darah, sindroma HELLP, bahkan dapat terjadi kematian
pada janin, ibu, atau keduanya bila preeklamsia tak segera diatasi dengan baik
dan benar.
Penanganan:
1.
Perawatan Aktif
Yaitu kehamilan segera diterminasi
ditambah pengobatan medicinal. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada
setiap penderita dilakukan pemeriksaan fetal
assasment yakni pemeriksaan Nonstress
Test (NST) dan ultrasonografi (USG), dengan indikasi (salah satu atau
lebih):
a.
Usia kehamilan ibu 37 minggu atau lebih, adanya
gejala impending eklamsia, kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam
pengobatan meditasi terjadi kenaikan desakan darah atau setelah 24 jam
perawatan medicinal ada gejala-gejala status quo (tidak ada perbaikan).
b.
Hasil fetal assasment jelek (NST dan USG):
adanya tanda Intrauterin Growth Retardation (IUGR).
c.
Hasil laboratorium: adanya HELP sindrome
(Hemolisis dan peningkatan fungsi hepar, trombositopenia)
2.
Pengobatan medisinal pasien preeklamsia berat
(dilakukan di rumah sakit dan atas instruksi dokter) yaitu: segera masuk rumah
sakit; tirah baring miring ke satu sisi; tanda vital diperiksa setiap 30 menit;
refleks patella setiap jam; infus dextrose 5% setiap 1 liter diselingi dengan
infus RL 500cc (60-125cc/jam); berikan antasida; diet cukup protein; rendah
karbohidrat; lemak dan garam; pemberian obat anti kejang MgSO4;
diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah
jantung kongesif atau edema anasarka; diberikan furosemid injeksi 40mg/IM.
3.
Antihipertensi diberikan bila tekanan sistolis
lebih 180mmHg, diastolis lebih dari 110mmHg atau MAP lebih dari 125mmHg.
Sasaran pengobatan adalah tekanan diastolis kurang 105mmHg (bukan kurang
90mmHg) karena akan menurunkan perfusi plasenta, dosis antihipertensi sama
dengan dosis antihipertensi pada umumnya.
4.
Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah
secepatnya, dapat diberikan obat-obatan antihipertensi paranteral (tetesan
kontinyu), catapres injeksi. Dosis yang biasa dipakai 5 ampul dalam 500cc
cairan infus atau press disesuaikan dengan tekanan darah.
5.
Bila tidak tersedia antihipertensi paranteral
dapat diberikan tablet antihipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam,
maksimal 4-5 kali. Bersama dengan awal pemberian sublingual maka obat yang sama
mulai diberikan secara oral. (Syakib Bakri, 1997)
6.
Pengobatan jantung jika ada indikasinya yakni
ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan
cedilanid D.
7.
Lain-lain: konsul bagian penyakit dalam/jantung,
mata; obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rectal lebih dari 38,5ºC dapat dibantu dengan
pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylomidon 2cc IM; antibiotik
diberikan atas indikasi. Diberikan ampicillin 1 gr/6 jam/IV/hari; antinyeri
bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus. Dapat diberikan
petidin HCL 50-75mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum janin lahir.
2.6 Gejala Subjektif PEB
Gejala-gejala
subjektif yang dapat dirasakan pada preeklampsia
berat adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kepala: jarang ditemukan pada kasus
ringan tetapi akan sering terjadi pada kasus-kasus yang berat. Nyeri kepala
sering terjadi pada daerah frontal dan oksipital serta tidak sembuh dengan
pemberian analgetik biasa.
2. Nyeri Epigastrium: merupakan keluhan yang sering
ditemukan pada preeklampsia berat. Keluhan ini disebabkan karena tekanan pada
kapsula hepar akibat edema atau perdarahan.
3. Gangguan penglihatan: Keluhan penglihatan
tertentu dapat disebabkan oleh spasme arterial,iskemia, dan edema pada retina
dan pada kasus-kasus yang langka disebabkan oleh ablasio
retina.
4. Sakit kepala yang
berat.
5. Perubahan pada
refleks.
6. Penurunan produksi
kencing atau bahkan tidak kencing sama sekali.
7. Ada darah pada air kencing.
8. Pusing.
9. Mual dan muntah
yang berlebihan.
2.7 Preeklamsia Berat Pada Persalinan
Penanganan Ibu dengan preeklamsia berat pada saat persalinan
dilakukan tindakan penderita dirawat inap antara lain:
1.
Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar
isolasi; berikan diet rendah garam, lemak, dan tinggi protein; berikan suntikan
MgSO4 8 gr IM, 4 gr bokong kanan dan 4 gr bokong kiri; suntikkan dapat diulang
dengan dosis 4 gr setiap jam; berikan obat anti hipertensi: katapres 3x1/2
tablet atau 2x1/2 tablet sehari; diuretika tidak diberikan kecuali terdapat
edema umum, edema paru, dan kegagalan jantung. Untuk itu dapat disuntikkan 1
ampul IV lasix; segera setelah pemberian MgSO4 kedua, dilakukan induksi partus
dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin 10 satuan dalam
infus tetes (dilakukan oleh bidan atas instruksi dokter)
2.
Kala II harus dipersingkat dalam 24 jam dengan
ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu dilarang mengedan (dilakukan oleh dokter
SpOG); jangan berikan metergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan yang
disebabkan atonia uteri; pemberian MgSO4 kalau tidak ada kontraindikasi,
kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam postpartum.
3.
Bila ada indikasi obstetrik dilakukan sectio
cesarea, perhatikan bahwa: tidak ada koagulopati; anestesi yang aman atau
terpilih adalah anastesi umum jangan lakukan anastesi lokal sedang anastesi
spinal berhubungan dengan risiko (dilakukan oleh dokter SpOG).
4.
Jika anastesi umum tidak tersedia atau janin
mati, aterm terlalu kecil, lakukan persalinan pervaginam. Jika serviks matang,
lakukan induksi dengan oksitosin 2-5 IU dalam 500ml dextrose 10 tetes/menit
atau dengan prostaglandin (atas intruksi dokter boleh diberikan oleh bidan).
2.8 Pengobatan
Obstetrik
1.
Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu:
a.
Induksi persalinan: tetesan oksitosin dengan
syarat nilai bishop 5 atau lebih dan dengan fetal heart mnitoring.
b.
Sectio cesarea (dilakukan oleh dokter SpOG) bila
fetal assasment jelek. Syarat tetesan oksitosin tidak terpenuhi (nilai bishop
kurang dari 5) atau adanya kontraindikasi tetesan oksitosin; 12 jam setelah
dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif. Pada primigravida lebih
diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan sectio cesarea.
2.
Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu:
a.
Kala I fase laten: 6 jam belum masuk fase aktif maka
dilakukan sectio cesarea; fase aktif: lakukan amniotomi saja, bila 6 jam
setelah amniotommi belum terjadi pembukaan lengkap maka dilakukan sectio
cesarea (bila perlu lakukan tetesan oksitosin).
b.
Kala II pada persalinan pervaginam maka kala II
diselesaikan dengan partus buatan. Amniotomi dan tetesan oksitosin dilakukan
sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian pengobatan medisinal. Pada
kehamilan 32 minggu atau kurang; bila keadaan memungkinkan, terminasi ditunda
2x24 jam untuk memberikan kortikosteroid.
3.
Perawatan preeklamsi berat pada postpartum
pemberian anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum
atau kejang terakhir; diteruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolic
masih >110mmHg; pantau jumlah urin.
4.
Cara pemberian MgSO4
a.
Dosis awal sekitar 4 gr MgSO4 IV (20% dalam 20
cc) selama 1 gr/menit kemasan 20% dalam 25cc larutan MgSO4 (3-5 menit). Diikuti
segera 4 gr bokong kiri dan 4 gr bokong kanan (40% dalam 10cc) dengan jarum
no.21 panjang 3,7 cm. untuk mengurangi nyeri dapat diberikamm 1 cc xylokain 2%
yang tidak mengandung adrenalin pada suntikan IM.
b.
Dosis ulangan diberikan 4 gr IM 40% setelah
pemberian dosis awal lalu dosis ulangan diberikan 4 gr IM setiap 6 jam dimana
pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.
c.
Syarat-syarat pemberian MgSO4: tersedia
antidotum MgSO4 yaitu calsium glukonas 10%, 1 gram (10% dalam cc) diberikan
intravena dalam 3 menit; refleks patela positif kuat; frekuensi pernapasan
lebih 16 x/menit; prosuksi urin >100cc dalam 4 jam sebelum (0,5 cc/kgBB/jam)
d.
MgSO4 dihentikan bila ada tanda-tanda keracunan
yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks fisiologi menurun, fungsi hati
terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian
karena kelumpuhan otot-otot pernafasan karena ada serum 10 U magnesium pada
dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Refleks fisiologi menghilang pada kadar
8-10 mEq/liter. Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan dan
lebih 15 mEq/liter terjadi kematian jantung.
e.
Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium
sulfat: hentikan pemberian magnesium sulfat; berikan calsium glukonas 10% 1
gram (10% dalam 10cc) secara IV dalam waktu 3 menit; berikan oksigen; lakukan
pernafasan buatan.
f.
Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 4
jam pasca persalinan sudah terjadi perbaikan (normotensif).
5.
Diagnosis
Diagnosa dini harus diutamakan bila diinginkan angka
morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadi
preeklamsia sukar dicegah, namun preeklamsia berat dan eklampsia biasanya dapat
dihindarkan dengan mengenal secara dini penyakit itu dan dengan penanganan
secara sempurna.
Pada umumnya diagnosis preeklamsia didasarkan atas adanya 2
dari trias utama yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria. Hal ini memang
berguna untuk kepentingan statistik, tetapi dapat merugikan penderita karena
tiap tanda dapat merupakan bahaya kendatipun ditemukan tersendiri.
Diagnosis diferensial antara preeklamsia dengan hipertensi
menahun atau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan kesukaran. Pada
hipertensi menahun adanya tekanan darah yang meninggi sebelum hamil, pada
kehamilan muda, atau 6 bulan postpartum akan sangat berguna untuk membuat
diagnosis.
Pemeriksaan funduskopi juga berguna karena perdarahan dan
eksudat jarang ditemukan pada preeklamsia, kelainan tersebut biasanya
menunjukan hipertensi menahun. Untuk diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya
proteinuria banyak menolong, proteinuria pada preeklamsia jarang timbul sebelum
trimester 3, sedang pada penyakit ginjal timbul lebih dahulu. Test fungsi
ginjal juga banyak berguna, pada umumnya fungsi ginjal normal pada preeklamsia
ringan.
6.
Deteksi dini
Karena preeklamsia tidak dapat dicegah, yang terpenting
adalah bagaimana penyakit ini dapat dideteksi sedini mungkin. Deteksi bagaimana
penyakit ini dapat dideteksi sedini mungkin. Deteksi dini didapatkan dari
pemeriksaan TD secara rutin pada saat pemeriksaan tekanan darah secara rutin
pada saat pemeriksaan kehamilan (antenatal
care). Karena itu pemeriksaan kehamilan rutin mutlak dilakukan agar
preeklamsia dapat terdeteksi cepatt untuk meminimalisir kemungkinan komplikasi
yang lebih fatal. Pemeriksaan TD harus dilakukan dengan seksama, dan diusahakan
dilakukan oleh orang yang sama misalnya bidan atau dokter.
DAFTAR
PUSTAKA
-. 1984. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar
Offset.
http://hanieputrirachmaan.blogspot.com/2011/01/konsep-dasar-pre-eklamsi-berat-peb.html
diakses ada tanggal 3 Desember 2013 pukul 22.00 WIB
Prawirohardjo,
Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan.
Jakarta: PT BPSP.
Yeyeh Rukiyah, Ai.,
Lia Yulianti. 2010. Asuhan kebidanan 4
Patologi Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar